Prabu, dulunya akronim Persatuan Pemuda Burangkeng. Lahir dari keresahan pemuda desa menghadapi TPA Burangkeng yang menjulang. Nama ini mencerminkan identitas dan kepedulian mereka terhadap krisis lingkungan di kampung halaman.
Namun kini, Prabu berdiri tegak sebagai kata utuh, menanggalkan baju akronimnya. Transformasi ini bukan sekadar perubahan nama, melainkan cerminan visi dan misi yang semakin luas dan inklusif.
Carsa Hamdani, Ketua Prabu PL, menjelaskan transformasi di posko mereka yang terletak tak jauh dari TPA Burangkeng.
"Prabu dalam bahasa Jawa Kuno berarti 'raja' atau 'pemimpin'. Dalam konteks lingkungan, kami ingin menjadi mercusuar yang menerangi jalan pelestarian alam, menggerakkan dan menginspirasi masyarakat untuk bersama-sama menjaga lingkungan," ujar Carsa kepada awak media pada hari Senin (16/9/2024).
Tak hanya itu, Prabu kini membuka pintunya lebar-lebar bagi siapa saja yang ingin bergabung dengan komunitas mereka.
"Tanpa batasan usia atau latar belakang sosial, yang terpenting adalah mereka peduli terhadap lingkungannya," tegas Carsa.
Sejarah perjuangan Prabu PL mengakar jauh ke tahun 1993, saat TPA Burangkeng mulai beroperasi. Namun, baru pada 28 Oktober 2018 tekad itu terwujud dalam bentuk komunitas.
"Dulu, fokus kami memang terbatas pada isu TPA Burangkeng," Carsa mengenang, matanya menerawang ke masa lalu.
"Prabu PL lahir dari keprihatinan kami terhadap dampak lingkungan yang masif. Tapi sekarang, visi kami telah berkembang. Kami ingin menjadi mercusuar yang menerangi jalan pelestarian alam di seluruh Kabupaten Bekasi, tidak hanya di Burangkeng," ungkapnya.
Transformasi Prabu mencerminkan kesadaran bahwa masalah lingkungan, khususnya persampahan, adalah isu yang kompleks dan saling terkait.
"Lihat saja kasus sampah yang menumpuk di Sungai Cikarang Bekasi Laut (CBL)," Carsa menunjuk ke arah timur. "Ini bukan hanya masalah di hulu, tapi mencerminkan sistem yang tidak beres dari hulu ke hilir."
Prabu kini aktif dalam berbagai bidang perjuangan. Mereka menjalankan kampanye anti pembuangan sampah liar, melakukan edukasi pemilahan sampah, serta melakukan perjuangan untuk perbaikan sistem pengelolaan sampah di tingkat kabupaten. Tak kalah penting, mereka memperjuangkan hak untuk meningkatkan kesejahteraan dari para pelaku di sektor persampahan.
Lebih dari sekadar menangani masalah sampah, Prabu PL juga berusaha menumbuhkan kembali kepedulian masyarakat terhadap lingkungannya.
"Kesibukan hidup modern telah mengikis nilai-nilai seperti gotong royong dan guyub rukun," ujar Carsa.
Lebih lanjut ia memgatakan, kami ingin menghidupkan kembali rasa bangga terhadap kearifan lokal desa. Karena dari desalah kita mulai berperan dalam kelestarian Nusantara.
Semangat ini tercermin dalam jargon Prabu yang berbunyi: "Menjaga Alam Desa, Awal Menjaga Alam Nusantara." Slogan ini menjadi pengingat bahwa perubahan besar dimulai dari langkah-langkah kecil di tingkat lokal.
Senja mulai turun di TPA Burangkeng, namun semangat Prabu tak pernah surut. Mereka terus bergerak, mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk bersama-sama mewujudkan perubahan. Prabu mungkin telah berubah dari definisi awalnya, tapi esensinya tetap sama: menjadi pelopor perubahan demi lingkungan yang lebih baik, dimulai dari desa mereka sendiri dan menyebar ke seluruh Nusantara. (*)