Keinginan peserta didik memukul siswa sekolah lain untuk pembuktian diri harusnya dilihat sebagai suatu yang perlu diakomodasi dengan benar. Tidak adanya media atau ruang yang jelas bisa menghasilkan pertarungan brutal yang biasa disebut tawuran. Parahnya, tawuran mampu memakan korban karena ada yang membawa barang tajam dan menusukkan ke lawannya.
Salah satu solusi yang bisa ditawarkan disini adalah membentuk pertandingan tawuran secara institusional dan tegas. Para siswa dapat menyalurkan hobi mereka ini melalui pertandingan tawuran setingkat (SMP vs SMP dan SMA vs SMA/SMK). Peserta per sekolah dibatasi sampai 100 orang. Pakaian kawan berwarna sama, sedangkan lawan berbeda. Tegas berarti adanya surat kesepakatan sebelum pertandingan tawuran dilangsungkan. Dalam surat tersebut, ada perjanjian tidak boleh membawa barang tajam dan dilarang memukul bagian vital lawan di atas materai bertanda tangan untuk setiap peserta. Pelanggaran perjanjian dikenakan sanksi sesuai yang tertulis dalam surat kesepakatan tersebut. Rekaman visual harus ada untuk memantau pelanggaran yang mungkin terjadi.
Ini bukan bermaksud untuk mendukung, tapi ini langkah awal untuk lebih mendewasakan siswa agar lebih beradab karena adanya aturan main dan kondisi/syarat yang jelas. Media ini akan mewadahi mereka untuk beraktualisasi diri yang sering digembar-gemborkan selama ini. Karena kenyataannya manusia itu layaknya balon udara, bila ditekan keras dia akan melebar (melanggar) dan bisa meledak, tetapi bila ditekan sedikit (dipegang biasa) mudah dibawa kemana-mana.
"Anak-anak (remaja) itu seringnya melanggar bila dilarang/dimarahi, tapi mematuhi bila disuruh melanggar (disetujui untuk berbuat jelek)", kata Pak Urip, seorang guru SMP.