Lulus itu pasti, kerja itu pilihan. Silogisme itu terbersit begitu saja manakala teringat sebuah iklan rokok. Imrpresi itu muncul pada saat pertama kali mengenakan toga wisuda di sebuah Universitas Islam tertua di Indonesia yang terletak di jantung kota Pendidikan Nusantara, Yogyakarta. Pesona kota tua yang makin tua makin beradab, kehidupan masyarakatnya yang ramah secara genetik membuat setiap orang terperangah ketika berkunjung ke kota penghasil gudeg terbaik sejagat raya ini. Dan itulah Yogyakarta dengan segala bentuk inklusifitasnya.
Kembali kepada statemen lulus itu pasti, kerja itu pilihan, penulis mencoba mendialektikakannya dengan dunia pendidikan Indonesia yang senantiasa menarik untuk dilihat dari kaca mata apa pun dan dari sudut manapun, ini mengindikasikan bahwa pendidikan itu rahmatan lil’alamin khususnya bagi para akademisi dan praktisi pendidikan. Bahkan para politisi pun tak mau kalah dan memberikan komentar-komentar baik positif maupun negatif, baik tepat maupun tidak, sebagai wujud kepedulian dan sensitivitas atau pun sebatas sensasi dan performansi.
Keinginan untuk lulus kuliah dan menggondol gelar sarjana, pastilah merupakan sesuatu yang ‘berharga’ dan ‘idaman’ bagi setiap orang, meskipun data statistik menunjukkan bahwa masih banyak rakyat Indonesia yang buta huruf (iliteracy) dan hidup dalam keterbelakangan (underdevelopment) baik secara sosial, politik, dan pendidikan. Keterbelakangan itu kemudian menyebabkan sebagaian besar rakyat di republik ini bersifat parokial atau mudah dipolitisir, diprovokasi, dan (bahkan) ditipu dengan pelbagai cara oleh mereka yang mereka yang merasa dirinya ‘superior’.
Catatan kelam sejarah tersebut menjadi kekhawatiran tersendiri bagi mereka yang bertitel sarjana. Mereka dihadapkan pada dua pilihan hidup, idealis dan realis. Termasuk di antaranya para alumni lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) yang bernama Guru. Seorang yang telah menyelesaikan studi kependidikan dan keguruan pastilah dihadapkan kepada dua pilihan kata di atas, bersikap idealis atau realis. Namun tentu sikap idealis dan realis dalam konteks pendidikan berbeda, manakala dikaitkan dengan politik atau aspek kehidupan lainnya. Disini penulis mencoba menguraikan maksud dari kedua terminologi itu :
Guru Idealis, terminologi ini merujuk pada para sarjana pendidikan yang setelah menyelesaikan masa studinya lebih memilih ‘pulang kampung’ dan mengabdi pada tanah kelahirannya, pengabdian tersebut bisa dikarenakan oleh tuntutan dari orang tua dan masyarakat yang mengharapkannya untuk kembali karena ia merupakan ‘putera mahkota’ dari pemilik lembaga pendidikan seperti Yayasan, Pondok Pesantren, Sekolah, dan Madrasah sehingga tidak harus bersusah payah, karena merasa telah mendapatkan jaminan secara finansial. Bisa pula dikarenakan oleh panggilan hati untuk ‘membangun desa’ dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan di ‘kampung halamannya’ itu, walaupun ia bukanlah stakeholder dari lembaga pendidikan yang terdapat di kampung halamannya. Dan bisa pula dikarenakan oleh ketidakpercayaan diri (unconfiedence) mereka dengan kompetensi yang dimilikinya, sehingga tidak berani untuk mengadu nasib di kota besar.
Keberadaan guru tersebut biasanya mendapat sambutan hangat dari masyarakat sekitarnya, secara sosiologis, ia akan dianggap sebagai kaum terpelajar dan memiliki status sosial yang dianggap bisa membimbing, mendidik, dan mengayomi masyarakat sekitarnya. Anggapan tersebut tidaklah berlebihan, mengingat sebagian besar masyarakat sekitarnya jarang sekali yang dapat menyelesaikan pendidikan tinggi. Sehingga menjadi sebuah keharusan bagi guru idealis ini untuk dapat mengamalkan dan mensinergiskan pelbagai kompetensi keguruan. Ia dituntut untuk berkepribadian baik, profesional dalam bekerja, memahami karakter peserta didik di sekolah (pedagogik), dan memahami kondisi sosial masyarakat sekitarnya (sosial).
Tak berhenti sampai disitu, perjuangan (struggle) dan pengorbanan (sucrifice) guru ideal ini adalah minimnya honor yang harus ia terima sebagai konsekuensi dari keputusannya membangun kampung. Kemampuan masyarakat dan minimnya perhatian pemerintah terhadap polarisasi pendidikan di pedalaman menjadi penyebab yang telah sekian lama cukup menjadi perhatian publik. Kendala minimnya aksestabilitas publik di pedalaman seperti jalan dan sarana transportasinya, fasilitas atau infrastruktur sekolah yang underperformance, dan honor pendidik yang jauh dari kata sejahtera. Tak heran bila jalanan yang rusak berat, berlobang, jembatan ambruk, dan siswa-siswi yang terpaksa berdesakan di angkutan umum dengan tarif mahal, menyebrang sungai demi satu harapan di masa depan, dan honor guru yang belum mencukupi kehidupan sehari-hari, menjadi headline di pelbagai media, baik cetak maupun elektronik.
Namun, satu hal yang patut disyukuri oleh para guru di pedalaman adalah ‘jam kerja’ dalam bahasa kaum metropolitan atau ‘jam mengabdi’ dalam konteks guru idealis lebih santai, karena pembelajaran di sekolah biasanya berlangsung sampai siang hari. Sehingga, selepas menunaikan kewajibannya sebagai sosok paling disegani di sekolah, ia dapat mengais rezeki apa pun asalkan halal. Mulai dari menjadi penarik becak, tukang ojeg, sopir angkutan, penjual keliling, atau menggarap sawah dan ladang, jika mereka memiliki lahan peninggalan nenek moyangnya. Dengan begitu, mereka dapat menambah penghasilan guna memenuhi kebutuhannya.
Selanjutnya, Guru Realis, berbeda dengan guru idealis, termonologi ini merujuk pada mereka yang telah menyelesaikan studinya, mereka lebih memilih berkarir di kota-kota besar dengan sekolah-sekolah unggul yang menawarkan konsep-konsep baru mengenai pendidikan, sebut saja mislanya konsep sekolah islam terpadu, sekolah alam, sekolah inklusi, dan sekolah kebun yang akhir-akhir ini tengah marak menjadi daya jual (benchmark) di beberapa sekolah di Jabodetabek. Motivasi mereka mengadu nasib di kota besar menjadi oemar bhakrie ini pun cukup beragam.
Dari pengalaman penulis selama menjadi guru di beberapa sekolah, ditemukan beberapa motivasi para sarjana pendidikan untuk berkarya di perkotaan, motivasi tersebut antara lain;
Pertama, mereka tumbuh dan dibesarkan dalam lingkungan perkotaan, baginya kehidupan kota bukanlah sesuatu yang luar biasa, menjalani rutinitas dengan penuh kepenatan merupakan hal yang biasa, semua berputar laiknya kehidupan normal yang tidak ada perubahan dan perbedaan apa pun. Karena persaingan, kebisingan, dan kemacetan tak ubahnya dinamika kehidupan yang sifatnya simultan dan involutif. Pandangan seperti ini tentu berbeda dengan mereka yang berasal dari pedesaan.
Kedua, mereka bukan merupakan bagian dari stakeholder lembaga-lembaga pendidikan yang terdapat di tanah kelahirannya. Sehingga mereka tidak memiliki akses untuk bergabung dengan lembaga pendidikan tersebut, karena sudah barang tentu mereka akan kalah bersaing dengan orang dalam (putera mahkota dalam konteks guru realis di atas), atau saudara-saudara terdekat pemiliki (owner) lembaga itu. Namun, tak dapat dipungkiri, ada beberapa guru yang merupakan ‘pewaris tahta’ lembaga pendidikan di kampungnya, terlebih dahulu berkarya di perkotaan sebagai ajang edukasi atau menambah wawasan, sehingga mereka dapat belajar bagaimana regulasi sistem persekolahan di perkotaan berlangsung, mulai dari marketing sekolah, administrasi, dan model pengembangan kurikulum dilaksanakan. Dan pada saatnya nanti, mereka mengimplementasikannya di lembaga pendidikan di kampung halamannya.
Ketiga, di samping bukan merupakan pewaris tahta sekolah di kampungnya, mereka rata-rata berasal dari keluarga dengan ekonomi yang berkecukupan, sehingga mereka membutuhkan suntikan dana untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya, dan salah satu langkahnya adalah dengan menjadi guru di kota besar, yang secara ekonomi lebih baik dari pada di desa. Motivasi ini cukup wajar, karena bila dibandingkan antara honor tenaga pendidik antara perkotaan dan pedesaan, terdapat prosentase yang cukup signifikan. Honorarium guru idealis lebih kecil dari pada guru realis, jika dipresentasikan honor mereka berkisar antra 10 s/d 25% dari guru idealis, dengan asumsi keduanya mengajar pada satu sekolah saja.
Keempat, kemampuan atau kompetensi guru-guru yang mengajar di sekolah-sekolah mahal tersebut cenderung memiliki kompetensi yang mumpuni. Baik secara kepribadian, profesional, pedagogik, dan sosial. Fakta ini tidak begitu mengherankan, karena untuk dapat menjadi guru di sekolah favorit tersebut, seorang guru harus melalui tahapan seleksi laiknya pegawai di instansi-instansi lain misalnya Bank, Perusahaan, dan komisi-komisi yang berada dalam naungan pemerintah. Bahkan lebih sulit dari sekedar tes calon pegawai negeri sipil (CPNS) yang masih sarat dengan ketidakjujuran, kecurangan, dan aneka cara haram lainnya.
Di samping itu, kompetensi tersebut ternyata memberikan dampak positif pada loyalitas dan berujung pada persaingan sekolah di perkotaan yang semakin hari terus mengalami perubahan yang cukup signifikan terutama dalam memberikan pelayanan kepada peserta didik. Tak ayal nilai Ujian Nasioanal anak-anak di perkotaan selalu lebih tinggi dari mereka yang di pedesaan. Sebab, selain sarana pembelajaran yang lengkap, serta aksestabilitas publik yang mendukung, dorongan kuat orang tua dibarengi dengan semangat guru yang tinggi dalam memberikan pelajaran menjadi faktor penentu keberhasilan tersebut.
Bila dilihat dari perspektif sosial, guru realis ini tidak ‘sehebat’ guru idealis, sebab kedudukan mereka di perkotaan dengan jam kerja yang sama dengan karyawan di perusahaan, bedanya guru mengurusi benda hidup berupa siswa, sehingga bebannya cukup berat dibanding dengan para karyawan, meskipun jam kerjanya sama. Selain itu, guru dianggap sebagai sebuah profesi laiknya profesi-perofesi lainnya. Bahkan terkadang profesi ini dianggap sebagai profesi ‘pinggiran’. Karena rata-rata orang yang hidup di perkotaan, sudah banyak yang bertitel sarjana, magister, dan doktor. Mata pencaharian mereka pun cukup heterogen mulai dari dokter, dosen, arsitek, bankir, dan pengusaha. Dan disinilah sebenarnya, guru realis harus mampu menunjukkan taringnya sebagai icon pendidikan Indonesia. Sudah saatnya guru di perkotaan mensinergikan kepribadian dan keprofesionalannya dalam konteks sosial masyarakat metropolitan.
Namun demikian, berpijak dari dua realitas empirik antara guru idealis dengan guru realis di atas, setidaknya kita bisa mengambil hikmah bahwa keberadaan guru sebagai tenaga pendidik, pengajar, pembimbing sekaligus motivator bagi anak-anak Indonesia ini harus diapresiasi dengan prestise berdasarkan prestasinya, terlepas mereka yang memilih kota maupun desa sebagai medan pengabdiannya. Karena keputusan itu selaras dengan panggilan hati seorang guru untuk berkarya dimanapun mereka berkiprah saat ini, atau bahkan telah jauh-jauh hari diniatkan dalam dirinya untuk menjadi bagian dari komunitas tertentu dalam dunia pendidikan di tanah air.
Terakhir, satu kata sebagai penutup tulisan ini, pengorbanan adalah kata kunci utama dari dinamika dan realitas objektif di atas, keinginan seorang guru untuk menjadi spiral of silence merupakan sebuah refleksi atau sikap kritis mereka yang mengharapkan adanya perubahan yang lebih baik dari kualitas bangsa ini, dengan kompetensi yang dianugerahkan Tuhan padanya, di pinggir pantai mereka berjuang, dari atas gunung mereka berjuang, dan dari arah manapun mereka berjuang. Mereka curahkan tenaga dan pikirannya dalam rangka mengisi kemerdekaan Indonesia.