Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Pahlawan? Aku Pejuang!

3 November 2012   05:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:02 444 6

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya

Bung Karno.

Desa Kejawar, Arcawinangun - Purwokerto Utara. Di Tahun 1923 bulan Nopember, Delapanpuluh delapan tahun yang lalu, lahir sosok prajurit pejuang. Beliau saya panggil Mbah Martoyo, Ketika saya sambangi, tanggal 2 Nopember 2012, Pukul 16.30 WIB, dalam obrolan saya singgung akan tibanya Hari Pahlawan Sepuluh Nopermber, Beliau menyatakan pelan tapi tegas “Aku pejuang! Niatku berjuang adalah panggilan jiwa. Apa yang aku lakukan demi menjaga keamanan negara kesatuan Republik Indonesia! Pahlawan itu orang-orang berpangkat dan pintar-pintar, sedang aku ini hanya prajurit kecil!

Bila kita tengok ke belakang perjalanan perjuangan Beliau sangat panjang. Dimulai jaman Jepang, masuk PETA dan ditempatkan di tangsi Cilacap, (1943-1945).

Lalu masuk jaman kemerdekaan, sempat masuk dinas ketentaraan karena Agresi I dan II Belanda, Beliau memilih kembali ke Desa, jadi Petani dan di dapuk jadi Ketua Pemuda Desa Arcawinangun dan secara diam-diam membantu pergerakan Gerilyawan. Lepas Agresi, Beliau ikut bergabung di Mobil Brigade (Mobrid) (1948) dan akhirnya jadi Brigade Mobil (Brimob) (1961). Ketika di Mobrid di tugaskan di berbagai palagan perang. Dari mulai mengamankan wilayah Banyumas dari penyusupan ‘pembrontak’ AOI (Angkatan Oemat Islam), setelah itu menghadapi gerakan separatis DI/TII. Lalu dikirim ke Sumatera mengatasi gerakan koreksi PRRI-Permesta.

Kemudian ditugaskan di Pati jadi Polisi hingga purna bakti, pangkat terakhir Ajun Inspektur Polisi Satu (Aiptu). Lalu kembali ke kampung halamannya, tinggal di rumah cukup sederhana bersama anak tunggalnya bekerja di Pemda Banyumas dan satu cucunya. Di Kampungnya Beliau  menjadi sesepuh/penasehat warga hingga sekarang tentu karena dihormati dan disegani. Di dalam rumahnya tidak terpapang satu foto maupun tanda jasa Beliau.

Pesan dari Beliau bila menjalankan tugas disamping doa, jangan suka ‘melik’ (mengambil sesuatu yang bukan haknya) dan jangan adigang adigung (sombong, mentang-mentang) itulah yang menyelamatkan Beliau dari berbagai palagan perang. Namun, walau sudah berpegang teguh pada prinsip pun akhirnya dapat ‘kenangan‘ satu peluru bersarang di antara tulang kaki kiri bawah, tidak bisa diambil sebab harus di amputasi. Lalu Beliau cerita kejadiannya, ketika sedang mengadakan operasi penyergapan di tengah malam gelap gulita, di bukit wilayah Wangon Barat, terjadi kontak senjata dengan DI/TII. Posisi Beliau di bawah Bukit, tiarap. Ketika tembakan terhenti, lalu teman-temannya saling memanggil, menanyakan keadaan dan kemudian berkumpul. Ketika berkumpul Beliau baru sadar kaki kirinya tidak bisa digerakkan, terkena peluru lalu jatuh terduduk. Langsung di evakuasi, ke Rumah Sakit DKT Purwokerto. Dua bulan kemudian dinyatakan sehat dan diterjunkan kembali diberbagai ke medan perang.

Mbah Martoyo, sudah hampir tiga tahun ini keadaan fisiknya sudah mulai sakit, berjalan pakai tongkat, pun demikian peluru ‘kenangan’ yang bersarang di kakinya bila udara dingin selalu berasa ngilu hingga sekarang. Purwokerto 2 Nopember 2012.

Bagi saya Beliau adalah Pahlawan, bagaimana menurut Saudara apakah Beliau Pahlawan?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun