Kolaborasi : Ismaharani Lubis dan Singgih Swasono (No. 95)
Mul memandang keluar jendela rumah sakit . Ada langit penuh bintang. Cerah sekali malam ini, kontras dengan suasana hatinya yang kelu. Sudah seminggu ia berjaga disini. Hidungnya sudah mulai akrab dengan aroma antiseptik dan obat-obatan yang menyengat. Telinganya sudah biasa mendengar raungan sirene ambulan yang datang dan pergi silih berganti, seakan tak pernah berhenti. Bapak sakit. Kali ini tak main-main. Stroke sudah memecah pembuluh darah di otaknya, membuat Bapak tergeletak tak sadarkan diri, bapak koma. Dokter menyarankan agar bapak di operasi, tapi tak juga menjamin kemungkinan untuk sembuh. Hanya itu jalan yang bisa ditempuh, agar bapak setidaknya terlepas dari kondisi koma.
Dihirupnya udara malam yang bercampur aneka aroma obat. Mul tercenung. Dipandangnya wajah Bapak yang kaku tanpa ekspresi. Selang infus dan oksigen seakan berlomba merasuki rongga hidung Bapak. Tak sanggup Mul berlama-lama memandang Bapak. Ada perih tanpa luka yang menggoret hatinya. Ingatannya tumpah, pada masa kecil saat bersama bapak.
Bapak sosok yang baik hati. Seorang bapak yang lebih cenderung pada sifat keibuan. Bapak memang begitu. Suaranya tak menggelegar saat marah. Suara bapak halus. Bapak juga tak punya kumis yang sangar. Kulitnya putih bersih, tanpa bulu kasar sebagaiman laki-laki dewasa pada umumnya. Perawakannya sedang, bahkan cenderung langsing mirip wanita. Saat berjalan bapak terlihat sedikit gemulai. Bapak memang begitu.
Dulu, Mul sering mendengar ejekan teman-temannya. Bapak setiap hari mengantar jemput Mul ke sekolah dengan berjalan kaki. Jika cuaca panas, bapak selalu memakai payung yang selalu berada dalam tas sandangnya yang lecek. “Mul, bapak mu banci ya?” Mul hanya diam.
Awal mendengar ejekan itu Mul menangis. Lalu ia bertanya pada bapak, benarkah ucapan teman-temannya. Bapak memeluk Mul, membelai kepalanya dengan kasih. Lalu bapak menjawab, “Kamu liat bapak kamu sebagai apa Mul? Sebagai banci atau sebagai bapak? Sudah nak, jangan hiraukan omongan teman-teman mu. Buat bapak, kamu adalah bintang. Kamu matahari. Kamu surga yang diberikan Tuhan sama bapak.” Lalu Mul tersenyum, memeluk bapak dengan erat. Sejak itu tak lagi Mul perduli dengan segala ejekan dan hinaan.
Mul hanya berdua bapak. Ibunya wafat saat melahirkan Mul. Pendarahaan, begitu cerita bapak. Keadaan ekonomi mereka yang sangat jauh dari kategori sederhana membuat bapak tak mampu membawa ibu ke rumah sakit saat itu.
Cerita tetangga, bapak menikahi Ibu karena kasihan. Ibu perempuan malam yang suatu hari ketemu bapak dalam kondisi babak belur dan hamil. Mul bukan anak bapak. Tapi lagi-lagi Mul tak perduli. Karena baginya, bapak adalah buminya, ayah sekaligus ibu. Bapak pintar melakukan pekerjaan wanita. Meski Sebelum berangkat kerja bapak selalu memakai bedak dan melukis alisnya, tapi bapak juga ahli mengerjakan pekerjaan lelaki sejati. Jika ada yang mengusik mereka, bapak tak segan-segan menantang pengusik itu. Mul juga tak banyak bertanya saat bapak terkadang memakai lipstick. Biar saja, Mul toh tidak merasa terganggu. Bagi Mul, bapak adalah segalanya. Karena bapak tak pernah meninggalkannya. Walaupun Mul tahu bahwa bapak sangat ingin pergi ketika teman-teman ‘seperti’ bapak mengajaknya untuk keluar dimalam hari. Bapak hanya menggeleng, dan memeluk Mul dengan kasih.
Mul menyirup kopi malamnya yang sudah dingin. Mul Tak merokok, karena bapak melarangnya dengan bijak. Bapak Cuma bilang begini saat Mul ketahuan bapak mencoba rokok. Ketika itu Mul sudah kelas 2 SMP. “Mul, bapak tak melarang kamu merokok. Cuma apa tidak sayang, uang yang dicari dengan susah payah kok malah di bakar. Bisa buat sekolah mu Mul kalau dikumpulin. Katanya kamu mau sekolah tinggi. Biar bisa merubah nasib kita. Tapi semua terserah kamu. Kalau kamu memang ingin merokok, nanti bapak yang belikan, biar bapak cari kerja sampingan lain lagi saja buat beli rokokmu.”
Dan bapak menyampaikan semua ucapannya dengan tutur lembut menyejukkan. Mul menangis, memeluk bapak sembari minta maaf. Sejak itu Mul tak ingin merokok lagi. Mul ingin sekolah. Dan bapak menepati janjinya. Menyekolahkan Mul yang tak merokok.