Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Pertemuan Masa Silam (+18 dalam Sketsa Lukisan)

3 April 2011   13:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:09 607 2

Lintasan masa silam berkelebat, siluet. hamparan lukisan menyeruak, terbentang. yah…aku ingat pernah diperlihatkan sepintas lukisan dibawah pohon randu rindang duduk terpekur seorang anak gadis desa menjelang dewasa, sendu. Inikah ‘reinkarnasi’ salah satu dari lukisannya itu, yang sekarang duduk didepanku, Saraswati.

Potong Sigit “Sa, yuk keluar sudah makan belum, nanti ngobrol2 disana”. Sahut Sarah sambil berdiri ”tunggu sebentar yaa mau pamit sama mamih dulu” Nina nyletuk “anak mamih…dah pergi saja sana nanti aku pamitkan sama mamih”. Mamih atau mucikarinya. “mas mau kemana yaa” tanya Sarah, lagi Nina motong “dah sana pergi nanti kan bisa SMS mamih, goblok”, Inilah kehidupan wanita si kupu-kupu malam

Kuakui temanku kalau melukis apalagi lukis perempuan boleh dikatakan jago, Ada satu lukisan Nyi Roro Kidul disimpan dirumahnya, sangat hidup lukisannnya. Sampai2 dia sendiri tidak berani memajangnya, pernah mau dikasihkan ke aku. Aku tidak mau, akupun melihat hanya sebentar, tatapan matanya hidup. Padahal aku tau persis itu hanya mitos saja.

Aku langsung berdiri sambil ambil rokok dan korek, berjalan keluar. “Git, mau diajak kemana misterius betul” sambl berjalan beriringan “tadi tadi pagi temanku yang punya hotel **** datang kerumah, ngajak naik kehotelnya pengin melukis bareng“, “oh..jadi mboking Saras  mau kamu lukis yaa” dia hanya ketawa-tawa, aku diam.

“Sejak kapan kamu wong kentir, berteman sama orang top itu, ah pasti dia lebih kentir sinting dari pada kamu…”, dia ketawa-tawa sambil ambil rokok lagi dari dalam sakunya, berjalan menuju tempat parkir mobil.

Hanya seputaran sudah sampai diparkiran hotel***, temanku menyuruh Saras langsung ke restoran hotel, disebelah kanan. Temanku langsung membuka pintu belakang mobil, sambil mengambil tas yang cukup berat, diserahkan ke aku. Dia menarik kayu lipat. Dia bawa masuk ke loby hotel *** menemui resepsionisnya, dia bilang tamunya boss bla bla bla.

Aku kaget melihat dibelakang receipsionist ada lukisan besar dan dibagian tertentu lobby, “lho…lukisanmu pada nempel di sini, bikin rusak pemandangan hotel” dia lagi-lagi ketawa-tawa, receipsionist dan tamu yang lain pada keheran melihat temanku, ketawa lepas.

Tanyaku “mana temanmu…”, sahutnya “santai saja aku sudah sering kesini nanti kan nongol. sekarang makan dulu, lapar nih. Saras sudah nunggu, oya…semua gratis jangan kwatir”. Pikirku, yah inilah kalau beteman sama dia jadi ikut kentir.

“Pak antar ini masukkan keruang biasa boss nongkrong yaa..” sambil menyerahkan tas ke receipsionist, demikian juga setelah masuk restorannya di dalam ruang saya lihat ada dibagian-bagian tertentu ada lukisan dia terpajang.

Diluar dugaan dia nyletuk “orang goblok yang mau pajang lukisan itu yaa…” ganti aku yang ketawa-tawa….”bukan-bukan, yang lihat lukisanmu matanya juling” balasku tidak mau kalah, ketawa-tawa bareng. Itulah keindahan berteman, bisa ketawa lepas.

Dia pernah bilang sama aku, dia selalu ingat akan kata-kataku ini “hanya orang-orang bodoh yang mau beli lukisanmu” “tidak mutu” dan “matanya juling”. akupun pernah balik tanya kenapa kamu senang, "berarti aku pintar, lukisanku bermutu dan mataku normal", kita ketawa-tawa, joged-joged bersama, sampai anak ibu jagung bakar nangis ketakutan. dia orangnya tidak mau disanjung, aneh unik nyentrik.

Sambil duduk dikursi aku bilang “Saras, pesan makan minuman bebas, tulis saja”, sambil ambil kertas dia nulis pesanannya, temanku nyletuk “sudah pesananku samakan saja” dia ketawa-tawa. Pasti dia selalu ingat selama ini kalau aku pesan sendiri yang beda pasti dia yang akhirnya makan pesananku.

kulihat Sarah bingung “Sar, cari yang paling mahal menunya, mumpung gratis” kulihat dia menulis menunya. Setelah selesai aku minta kertas pesananya, Kulihat pesannya Sarah “lha..jangan ini, ini terus ini kamu suka kan, minumannya ini, mumpung gratis” waiters yang berdiri disamping meja bengong saja,

aku nanya temanku “Git, bener nih gratis, jangan-jangan nanti mobilmu buat mbayar. Ngamuk nanti istrimu” dasar kentir dia ketawa-tawa lagi, sambil bilang “kamu masih keingatan terus, waktu dulu makan direstoran A. ninggalin KTP dan STNK motor….tanya nih sama mas ini” Sambil tangannya pegang si pelayan restoran

Waiters menyahut “benar pak, saya sudah disuruh bapak kalau Pak Sigit dan temannya datang dilayani semua keperluannya”, wah pasti karena lukisan2nya di pajang disini, jadi penasaran nih aku. Waiters pergi membawa kertas pesanan.

Sambil nunggu pesanan datang, rasa pengin tahu lebih jauh tentang Saras. Awalnya aku berpendapat paling cerita2 klise perempuan bodoh mau menjalani profesi kupu-kupu malam, tapi rasa-rasanya ini agak beda. tingkah temanku semakin membuatku penasaran, seperti dia menyimpan suatu kenangan yang hilang, entah apa.

Aku mencoba memancing pertanyaan, yah…awalnya dia tidak mau cerita, bosan katanya sudah puluhan kali dia cerita akhirnya tetap sulit keluar dari trauma masa, dia sudah pernah keluar dari lembah terkutuk ini 2 kali, tapi akhirnya tertipu lagi, sambil menggelengkan kepala tersungging senyum, kelu. Ah..dia menangis di dalam senyuman

Ah ahirnya temanku membuka mulut, tumben. “Saras kamu asli dari daerah mana, yang bener” dia menjawab “kota Klampok, desa Bojongsari” kulihat temanku ada perubahan tatapan ke Saras “lho desa itu kan ada lapangan sepakbola dan sungai besar, nama lapangan dan sungainya apa yaa aku lupa..” sahut Sarah “lapangannya namanya Bojong dan sungai klawing” ini temanku ngetes atau memang dia lupa.

Semakin berubah wajah dan tatapan temanku, tapi mungkin temanku penasaran dia tanya lagi “disana ada 2 pohon besar dipinggir desa dekat sungai, namanya aku lupa masih tidak ….”Dia merubah posisi duduknya lebih mepet meja, sambil tangan ditaruh diatas meja. Saras langsung motong “pohon pule, yang satu sudah roboh tergerus banyir sudah lama waktu aku SMP desa Bojongsari sempat kerendam banyir”

Mendengar itu temanku tarik nafas panjang “dulu aku asli desa tetangga desa itu. sampai kelas 6. SD nya kan dikampungmu, setelah Ikut aku Bapak pindah keluar kota. Aku sudah tidak pernah ke desa itu lagi mungkin sudah 30 tahun lebih, saudaraku sudah tidak ada lagi yang tinggal disana”

Ah….. aku juga baru tahu asal-usul temanku, selama ini dia hanya cerita dulu aslinya dari Klampok, begitu saja. Pernah aku tanya lebih jauh, dia hanya jawab sudah tidak punya saudara disana, semuannya sudah pada pindah. Tapi sekarang….

Dia tatap Saras “di sebelah mana rumahmu tepatnya, dekat dengan perempatan desa grumbul tanah garing…” Saras motong “rumahku sekarang di pinggir desa dekat sawah, dulu sebelum banjir di grumbul tanah garing”

Sigit menyahut “dulu aku punya teman SD, namanya Darso, Wanto, Bejo, Dayat, Tuna, Wati, Wagiyem, Tarmini, Pak Guru Kardi, Pak Sholeh, Bu Rus….” Kulihat mata dan wajah Sarah berubah dan semakin menunduk.

Temanku semakin penasaran “dulu tanah garingnya ada pohon randu buntung, masih ada sekarang…” potong Sarah “sudah tidak ada yang besar2 sudah ditebangi semua, tinggal yang kecil. Rumahku dulu yang dekat yang pohon randu buntung” kulihat mata Saras menerawang jauh, menghela nafas.

Terhenti percakapannya waiters datang membawa soup asparagus dan air minum pesanan masing-masing. Aku langsung ambil mangkok soup hemm dingin begini pas sekali, Sambil menyilahkan ke Saras kusuruh makan soupnya dulu. Setelah menyilahkan waiters pergi.

Masih kelihatan wajah penasaran temanku, tanya lagi “lho itukan dulu rumah orang tuanya Darso disebah barat dan yang diseberang jalan dekat sungai kecil itu rumahnya Tarmini. aku dulu suka dolan disana, pulang sekolah main di sungai kecil cari ikan sama Darso, Tarmini, Bejo dan yang lain, kalau dapat ikan di goreng sama ibunya Darso, jadi….” Saras berhenti makan soupnya kulihat wajahnya, ada titik air mata menggelantung, dia tertunduk.

“Pak Darso, dan Ibu Tarmini orang tua saya….” Tercekat suara Saras tidak bisa meneruskan kalimatnya, demikian juga dengan Sigit kulihat perubahan mukannya temanku meneteskan air mata, pundaknya bergetar. kulihat sekeliling ruang hanya ada 2 tamu di restoran ini, cukup jauh jaraknya.

Dia ambil air putih, mimum dan tisue. dengan suara serak dipaksakan, suara bergetar merintih pedih “pantas…kamu mirip Tarmini temanku dulu…, jadi benar kamu anaknya…” dan hanya anggukan kepala, dan suara sesenggukan, semakin terdengar. bahu bergetar, dia ambil tisue untuk menyeka air matanya, menahan kelu.

Misteri lukisan anak gadis kecil desa dibawah pohon randu, dibelakang sungai kecil. terkuak. wajah klasik, mata sendu, rambut panjang sepinggang, baju desa alami, Tarmini ibunya Saras.

seumur-umur berteman, baru aku kali ini kulihat dia meneteskan air mata…aku ikut tercekat, terharu dan trenyuh atas pertemuan ini. "kenapa kamu..." kelu lidah temanku meneruskan kalimatnya,  "Pak... tolong... pak jangan sampai.. tahu ibu.... bapakku, tolong..." memohon diiringi rintihan batin yang paling dalam, terkoyak. "nanti...aku ceritakan semuanya..pak tolong jangan sampai pada tahu keluargaku..." pintanya dalam rintihan seorang anak yang kehilangan busur panahnya. Sigit hanya bisa mengangguk, menunduk terpekur. mengambil tissue mengusap air mata, kelu....

.

Aku tercekat, terperangkap

dalam diam hening, dingin

mencekam kesunyian, malam

Helaan nafas berat, mencekat

Kulihat wajah berlidah, kelu

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun