Kehidupan keras di pasar, membuat Letho telat kawin. Â Di umur menjelang 40 tahun ini hanya punya anak lelaki semata wayang umur 5 tahun. Â Dia namai anaknya Budi Mulya, entah apa arti sebuah nama, tapi mungkin Letho mengharap anaknya berbudi mulia seperti layak anggapan terhadap dirinya. Â Biarpun dalam kesehariannya selama ini Letho mengandalkan ototnya, ia punya "wibawa" untuk menyelesaikan pekerjaannya hanya dengan kata-kata dan berbuat adil untuk siapa saja.
Budi Mulya oleh emaknya di panggil Si Buya, bukan main "nakal"-nya di banding anak-anak seumurnya. Â "habis kelewat dimanja bapaknya, sih", begitu kata si Emak. Â Pantaslah, di rumah Si Buya memang menjadi labuhan hati Letho yang sehari-hari bergelut dengan keras dalam menjaga wibawa dirinya. Â Perilaku memanjakan anaknya ini bergulir begitu saja tanpa disadarinya, apa mau dikata begitulah adanya.
Pagi ini seperti biasa - menjelang jam 10 Letho dengan gontai pulang kerumahnya setelah sejak dini hari menjelang subuh "bertugas" di pasar Cikini. Â Memang menjadi kebiasaannya untuk istirahat dulu dirumah sebelum bertugas lagi nanti antara jam 3 sore sampai menjelang waktu Isha. Â Belum 10 meter dari rumahnya sudah terdengar jerit tangis Si Buya kesayangannya ditengah teriakan emaknya. Â Bergegas Letho mempercepat langkah kakinya.
"Maaak, di apain Si Buya!", begitu gelegar suaranya begitu seampai di pintu rumah. "Anak lu nih, keterlaluan nggak bisa diurus - suruh sarapan aja susah bukan min!" si Emak balas teriak, " Dari tadi nangis minta permeeen melulu... Kalau sakit perut gimana?". "Di kasih saja kenape, bikin ribut aje. Â Lu tahu gue suntuk nih pulang kerja!" Letho balas menghardik bininya.
Melihat ayahnya Si Buya lari kepelukan Letho. Â Dengan mimik dan tangis manja mulut ceriwisnya merengek mengadu ke ayahnya disertai derai air mata. " Hii..hiiiek. Uya minta pelmen ... Emak nakaal...", begitu rajuknya. Tanpa banyak kata Letho memberikan uang dua ribuan ke Si Buya. Â "Nih, beli sono. Â Jangan nakal dan nangis lagi ya, babe mau tidur dulu nih."
Begitu dapat duit, Buya lari ke warung depan rumahnya membeli permen kesukaannya. Â Dengan wajah riang penuh kemenangan, dalam sekejab permen masuk ke mulutnya diemut dan diisapnya dalam-dalam. Â Di depan emaknya Buya menjulurkan lidahnya yang berwarna ungu menyala. Â "Huh ! Si Buya emang kuya!", begitu gerutu Emak.