Di balik kelambu sejarah,
kami mendengar jerit sunyi,
suara Kanjeng yang terkubur di ladang debu,
mahkota yang dulunya gemilang,
kini dililit bayang-bayang.
Wahai Kanjeng, siapa yang membungkam namamu?
Lidah-lidah tajam menyulam cerita baru,
menghapus jejakmu di tanah ini,
menukar makna nisan dengan prasasti palsu.
Di mana mahkota yang pernah kau sandang?
Kini dirampas oleh tangan berlumur dusta,
tangan-tangan yang menggenggam pena sejarah
hanya untuk mencoret garis waktu.
Pribumi di bungkam oleh makhluk asing yang duduk di singgahsana dengan segala macam rencana dalam membungkam segala bentuk suara.
Menyiapkan cambuk-cambuk bergerigi untuk menjinakan dan menakuti para harimau rimba
Kanjeng,
kami tahu,
Pohon langensari dan sisik naga itu menangis, akar-akarnya meronta,
mencari suara langkahmu yang hilang.
Namun, batangnya dipaku dengan kepalsuan,
daunnya gugur menjadi saksi bisu.
Amarah kami adalah badai,
tak lagi mampu ditahan oleh langit malam.
Angin membawa bisikan:
"Kembalikan! Kembalikan! Kembalikan nama Kanjeng!"
Tapi gema itu hanya membentur dinding-dinding keserakahan.
Sedih kami adalah hujan,
membasahi tanah yang kau pijak,
berharap setiap tetesnya mampu menumbuhkan kebenaran.
Namun, siapa peduli pada hujan,
ketika payung besar sejarah baru membentang?
Oh Kanjeng, mahkota itu mungkin telah hilang,
nisanmu mungkin telah berganti nama,
Pribumi tak lagi mau bersuara dan peduli.
Kabar buruk itu hanya menjadi obrolan sekejab di panggkalan kehidupan, tak lagi di teruskan, sura itu berhenti.
Tapi kami yang bersuara menyakini akan sebuah tabir
Kebenaran adalah air,
yang akan selalu menemukan celah untuk mengalir.
Dan ketika fajar tiba,
di saat bayang-bayang tak lagi menguasai pagi,
kami akan tetap berdiri di hadapan prasasti
Dengan suara lantang,
kami meneriakan sejarah sampai kembali
Kini waktu akan menjadi saksi,
bahwa cerita yang dikubur tak pernah membusuk.
Tangan-tangan yang mengganti mahkota
akan terperangkap dalam bayangan dosa.
Namun, kebenaran tetap bersinar
melewati kabut dan gelapnya penipuan para dewa
Kanjeng, dari kami untukmu, pada sebuah lara
kami adalah pelita,
kami adalah batu-batu kecil membawa sebuah bara
Menjadi jembatan tanah leluhur kami yang di perkosa
Durhaka, Durhaka, Durhaka