Balarama menatap langit yang berwarna kelabu, memantulkan seluruh resah yang ia pendam di sudut-sudut hatinya. Di seberang padang rumput yang sunyi, di bawah pohon akasia yang melengkung seperti punggung seseorang yang lelah, Asmara Renjana, perempuan yang seakan mengisi setiap celah kekosongan dalam dirinya. Angin yang berembus pelan seolah menjadi perantara kerinduan di antara mereka, menghantarkan bisikan yang tak pernah terucap.
Asmara Renjana, nama itu meluncur dari bibir Balarama seperti melodi lama yang selalu menyesakkan dadanya. Setiap hurufnya adalah dengung kerinduan, setiap nadanya adalah panggilan yang tak berani ia jawab. Ia tahu bahwa perempuan itu bukan miliknya, perempuan yang akan terikat janji sakral dengan laki-laki lain. Namun, entah mengapa, saat mata mereka bertemu di persimpangan nasib, dunia seolah terhenti. Waktu menjadi rel kereta yang berkarat, diam dalam jeda yang tak terelakkan.
Malam itu, di bawah langit yang kelam, mereka bertemu lagi. Duduk berdampingan di sebuah bangku kayu tua yang sudah rapuh, mereka berbagi kesunyian.