Pada suatu hari, tibalah dua orang muda itu di kota Menoreh, sebuah kota kecil yang ramai, kedua orang muda itu langsung menuju ke pendapa Katumenggungan, kemudian setelah mengeluarkan tanda kebesaran Kerajaan dan segera setelah orang mengenal tanda itu, tuan rumah itu nampaknya bergegas buru-buru melayani ke dua orang tamunya. Seorang diantara ke dua tamunya yang diberikan penghormatan istimewa itu tiada lain adalah Pangeran Gendra Kumara, yang disambut dengan segala penghormatan.
Pembesar dari kota Menoreh itu bernama Tumenggung Gunawikara, sebagai pejabat ditingkat Katumenggungan, didatangi seorang keluarga istana tentu saja memberikan penyambutan yang luar biasa untuk kedua tamunya. Sementara itu, Baruklinting yang diperkenalkan oleh Pangeran Gendra Kumara sebagai adik angkatnya, juga menerima penyambutan terhomat sehingga pemuda remaja ini merasa canggung dan sungkan.
Melihat sikap Baruklinting yang kikuk, Pangeran Gendra Kumara tertawa dan dengan setengah memaksa dia berkata, “Baruklinting, engkau adalah sahabatku yang baik, sudah sepatutnya engkau menerima penghormatan dari siapapun juga. Pakaianmu sudah kotor, hayo kaupakai pakaian baru ini. Kalau engkau memakai pakaian lama itu, sebagai sahabat baikmu tentu aku akan merasa malu, apalagi engkau bukan hanya sahabat, melainkan adik angkatku!”
“Adik angkat? Apa maksudmu, kakang Gendra Kumara?” tanya Baruklinting ketika mereka berada di dalam sebuah kamar tamu yang disediakan oleh Tumenggung Gunawikara untuk mereka.
“ kau adalah adik angkatku, tidak maukah engkau menjadi adikku? Aku ingin mengangkat
kau menjadi saudara, dan malam ini, di bawah sinar bulan purnama, kita akan melakukan
upacara ritual pengangkatan saudara.”
“Ahhh...!” Baruklinting melongo dan ada rasa haru menyelinap di dalam hatinya.
Pangeran Gendra Kumara adalah adik dari Sultan Awantipura! Dan hendak mengangkat dia sebagai adik, padahal dia adalah seorang anak tanpa keluarga, bahkan semasa kecil hidup dikalangan kaum pemburu liar dari masyarakat suku terasing!
“Apakah kau menolak,?” pertanyaan itu diucapkan dengan suara demikian halus sehingga
Baruklinting tidak berani untuk membantah.
“Aku... merasa terhormat sekali... tetapi, pantaskah aku menjadi adik angkatmu, kakang Gendra Kumara...?” katanya gagap.
“Pantas…? Pangeran Gendra Kumara merangkulnya dan tertawa, setelah mendengar pernyataan Baruklinting.
“Ha-ha, kau adalah seorang pendekar sakti dari Alas Ketangga, mempunyai adik seperti kau merupakan kebanggaan bagiku, Baruklinting! Mari, Tumenggung Gunawikara telah mempersiapkan segala peralatan upacara itu di taman…”
Dan benar saja, ketika keduanya memasuki taman, di situ telah diatur sebuah meja untuk upacara yang lengkap dan meriah. Baruklinting merasa kikuk sekali. Apalagi karena Tumenggung Gunawikara sendiri, dan nyonya ada di situ terdapat pula seorang dara cantik yang berpakaian indah, bersama dengan lima gadis lain yang berpakaian sebagai pelayan tetapi kesemuanya cantik, melayani mereka berdua dengan penuh hormat!