Kelangkaan Elpiji 3 Kg , siapa yang harus disalahkan..?
[dok; cybernews]
Carut marut distiribusi Elpiji 3 kg di Jawa Tengah bukan hanya sekarang, tetapi sejak 2009, betapa tanggal 16 oktober 2009 Gubernur Jawa Tengah telah melayangkan suratnya kepada Menteri ESDM perihal rencana kerja sama pengawasan distribusi elpiji 3 kg.
Yang kemudian oleh pihak Hiswana Jawa Tengah, terus mendesak agar zonasi atau rayonisasi penyaluran elpiji 3 kg segera ditetapkan. Pasalnya, kondisi di lapangan, untuk penyaluran elpiji 3 kg dari SPBE ke agen, agen ke pangkalan/penyalur dinilai masih carut marut sehingga menyebabkan perebutan pasar.
Inilah alasan yang dibuat sebagai acuan untuk mengatur distribusi elpiji 3 kg di zona Jawa Tengah. Pembentukan rayonisasi katanya untuk mengatur agar tidak terjadi rebutan pasar, sehingga agen lain tidak masuk ke pasar agen lainnya. Ambil contoh; sebuah Kabupaten tiap hari didistribusikan 10.000 tabung elpiji 3 kg, namun sebenarnya daerah itu kuota pelaksanaan 13.000 tabung, siapa yang akan mencukupi penambahan 3000 tabung itu? maka wajar apabila pedagang elpiji 3 kg ini mencari ke tetangga kabupaten.
Sementara di tetangga kabupaten itu kuotanya 13.000 tabung/ hari… tetapi dalam pelaksanaannya hanya 10.000 tabung /hari..kalau dibiarkan menumpuk maka terjadi kelesuan pasar.
Alasan pokok dari system rayonisasi katanya pemasukan retribusi PAD menurun ? ini sungguh sebuah penghitungan yang aneh. Kalau kuota 13.000/hari itu retribusinya 100 rupiah/tabung/hari maka PAD daerah itu per harinya sudah 1,3 juta rupiah dikalakan 25 hari kerja dikalikan 12 bl adalah 1.300.000x25x12= 390 juta rupiah.
Tetapi kalau sebuah rayon dengan kuota 13.000/hari tidak habis terjual dan sisanya 3000/hari…maka retribusi jalan terus, yang dirugikan pihak Pertamina, karena membayar retribusi penuh, namun pemasarannya berkurang.
Nah dengan asumsi pedagang lain daerah membeli di daerah yang kelebihan pasokan , berarti semua daerah menjadi berimbang. Lagipula sistim rayonisasi tidak masuk akal…elpiji 3 kg adalah monopoli pemerintah [Pertamina] bagaimana mungkin terjadi persaingan harga..?
Misalnya saja; sebuah elpiji 3 kg di kabupaten Temanggung harga pangkalan menjual kepada penyalur 13.250…maka tidak mungkin pembeli dari daerah Wonosobo sebagai tetangga kabupaten akan menerima harga 12.750…logikanya harga itu 13.500 [diatas harga penyalur]…atau setidak-tidaknya sama yaitu 13.250.
Kalaupun harga pembelian sama dengan penyalur 13.250, si pedagang elpiji dari daerah Wonosobo tidak mungkin mau rugi transportasinya…nah harga pembelian dari daerah Temangung tentu sudah lebih tinggi dari harga daerah Wonosobo tersebut, maka yang terjadi harga penjualannyapun akan lebih tinggi dari harga daerah Temanggung.
Kabupaten Temanggung kelebihan kuota, sementara kabupaten Wonosobo kekurangan barang, bukankah pedagang elpiji Wonosobo ini sudah membantu pemasukan PAD kabupapten Temanggung, sekaligus menguntungkan pihak Pertamina, karena retribusi yang dibayarkan kepada pemerintah daerah tidak hilang dijalan.
Bagi daerah Wonosobo sendiri kebutuhan rakyatnya terpenuhi, sekaligus menaikkan retribusi daerah, karena sebagian besar pemakai adalah pedagang masakan, kaki lima.Simbiosis mutualis, semua diuntungkan..nah sekarang kita lihat, bahwa dengan model rayonisasi yang sekarang dijadikan alat oleh pihak Hiswana untuk menekan pada pemerintah? ini tak lebih dari praktek kepentingan kaum kapitalis saja.
sistim rayonisasi tak lebih dari akal-akalan pihak Hiswana saja dalam menjalankan praktek kapitalisme, dan ini bisa dianggap menghambat roda ekonomi, kalau zaman orba sudah bisa masuk kategori subversif.
Betapa tidak , bukankah elpiji 3 kg adalah kebutuhan pokok untuk rakyat, dengan subsidi dari Pemerintah, nah kalau pendisitribusiannya dihambat, bukankah pihak HISWANA itu menghambat subsidi pemerintah untuk rakyatnya...? bukankah ini termasuk kategori Subversif..?
Hari ini hampir 85% migas Indonesia ada di tangan asing. Kendati kekayaan migas yang besar, negeri kita tetap tidak mampu mensejahterakan rakyatnya