Dua sejoli yang sedang dimabok cinta, sepertinya dunia itu hanya miliknya, bahaya yang mengancam pun tak dihiraukan kata pepatah" andaka angungas sari tan wrin baya ', pepatah ini ditujukan terhadap orangorang yang sedang asyik masyuk dalam bercinta, mereka lupa bahwa di kanan kirinya bahaya mengancam dirinya.
Sang putri kemudian menggapai tangan Raden Pabelan yang bersembah pada putri raja. Sebenarnya dalam tatakrama kerajaan, tak seorang pun dari luar puri yang tidak mendapatkan ijin masuk, tidak akan berani menginjakkan kaki di halaman puri kaputren. Karena bisa mendapatkan hukuman mati. Dalam hati Raden Pabelan juga masih was-was, tetapi karena tuan putri sudah memegang tangan nya, ini sebagai pertanda mendapatkan ijin untuk masuk ke dalam kaputren. Sang retna mengajaknya masuk ke bangsal kaputren, karena di luar bisa diketahui oleh penjaga.
Raden Pabelan berjalan di belakang tuan putri, karena masih kikuk dan juga takut salah, tetapi sang retna justru menarik tangan kanan raden Pabelan. Keduanya berjalan seiring, sambil membicarakan awal perkenalan, sesekali ada tawa kecil (jalan cerita, dialog dipersingkat).
Kemudian memasuki bangsal kaputren, dan pintupun ditutup. Sang putri mempersilakan duduk. Raden Pabelan kemudian berkata dengan suara yang pelan ;” hamba merasa berdebar-debar tuan putri, mohon ampun “. Dengan menunduk malu sang putri mempersilakan raden Pabelan untuk masuk kedalam puri kaputren.
Sang putri terobati sudah, selama ini yang dinanti-nantikan sudah ada di hadapannya. Keduanya terdiam beberapa saat, tak satu katapun keluar dari mulutnya, bingung bercampur gugup, karena baru pertama kali. Meski dalam surat menyurat, sudah berkali-kali berbicara macammacam, namun ketika berhadapan langsung, serasa mati kutu.
Sang putri sudah menyadari bahwa pada waktu malam hari, pintu puri kaputren tidak boleh dibuka, maka segera tersadar dan segera mempersilah raden Pabelan untuk masuk ke bangsal kaputren. Orang-orang yang ada di dalam puri kaputren sudah tidur semua, adapun sang retna Murtèningrum, karena sejak pagi sudah memberi surat pada Raden Pabelan, maka ia siap menanti kedatangannya, tidak ada rasa kantuk, bahkan badannya menjadi semakin bugar karena semangat untuk bertemu dengan orang yang didambakannya.
“ boten nedya awak ulun, kamipurun sang Kusuma ayu, mirah kawula ratu Mas, kang abdi ngèstupada ingaras kusumaningrum” (bukan maksud hamba tuan putri untuk kurangajar pada tuan putri, hamba menghaturkan sembah dan ingin mencium kaki paduka).
Raden Pabelan melancarkan rayuannya seraya mendekap pergelangan kaki sang putri dan akan mencium punggung kakinya. Tetapi sang Retna mencegah Raden Pabelan melakukan sembah layaknya seorang hamba mencium kaki sang putri Raja.
Pertemuan malam itu menjadi semakin akrab, dan Pabelan semakin berani memegang tangan tuan putri dan mencium punggung tangannya, kemudian memandangi wajah sang putri sambil bertanya “ tuan putri kira-kira ada yang tahu apa tidak, hamba berada di dalam kaputren ini ?”
Tuan putri tidak menjawab, tetapi mencubit paha raden Pabelan. Raden Pabelan dalam hal membaca pikiran wanita sudah lebih berpengalaman, melihat gelagat tuan putri yang sudah semakin berani, ini memberikan isyarat sang retna sudah menyerah. Segera sang putri, dirangkul dan dipapahnya kedalam krobongan, sambil menciumi wajah, kening, leher juga telinga.
Begitulah kedua orang yang sedang dimabok cinta melepaskan kerinduannya. Bagi sang retna dyah ayu Murtèningrum, memang belum pernah disentuh oleh seorang pria. Maka saat Raden Pabelan itu mencium pada bagian terpenting yang dapat membangkit libido, ia mulai merintih dan semakin tak terkendali, bagaikan harimau yang kelaparan, tanpa basa basi lagi, sang putri menyambut hangat serangan raden Pabelan. Satu persatu penutup tubuh sang putri dilepas dari tempatnya, kini keduanya bak Adam dan Hawa yang masih di dalam Surga, tiada daun penutup, semuanya transparan, datanpa slintru, padhang anrawang.
Usia sang putri sudah 30 tahun, sudah matang dan dewasa, meski belum berpengalaman, tetapi training sesaat saja sudah bisa melakukan dengan sempurna. Dalam arena pergumulan cinta sudah tidak nampak lagi batas sekat etika. Disitulah manusia menunjukkan hak azasinya yang paling tinggi dengan kebebasan yang se bebas-bebasnya. Tidak ada aturan yang mampu menghentikannya, tidak ada sebuah perintah yang mampu membatalkan tindakannya. Kedua orang itu sudah sama-sama memegang prisip kebebasan mutlak.
Dunia seakan hilang dari pandangan matanya, agaknya yang hidup di dunia hanyalah mereka berdua. Bahkan jika ada orang lain yang memperhatikan pun tidak digubris lagi. Dunia ada di dalam genggaman tangannya. Begitulah yang sedang melakukan ‘ andon asmara ‘ mengadu kepandaian dan kemampuan, saling memukul dan menangkis.
Sesekali mengeluarkan jurus yang dahsyat. Desahan nafas yang keluar serasa menaiki tangga sebuah gedung bertingkat sembilan. Peluh yang keluar dari pori-pori semakin deras karena mendekati puncak energi, keduanya mengeluarkan jurus pamungkasnya dan bagaikan dentuman air pasang yang menghantam pantai, byur, dan keduanya tergeletak tak berdaya. Mata terasa penat, kepala terasa pusing berputar-putar, deru nafas yang menggelegak menjadi berangsur-angsur mereda dan semakin halus, pandangan mata menjadi kabur, suara semakin menjauh dan menghilang. Keduanya tertidur pulas berpelukan.
Pagi harinya, keduanya sudah membersihkan dirinya, dengan wewangian khas keraton , kedua duduk bercengkerama, sambil tertawa kecil , kemudian raden Pabelan merajuk pada sang retna ;” tuan putri, jika punya anak kira-kira kalau lahir laki-laki seperti aku nggantengnya”.
“ sira aja gumampang, apa becik panemuné, manira dèrèng uninga, kang kadya ambek dika, dèrèng-dèrèng ambek sunu, wekasan ngrusak dagangan” ( jangan menyepelekan, apakah pendapat andika itu benar, aku belum mengetahuinya, belum-belum sudah mikir anak, tetapi akhirnya nanti merusak dagangan).
“ dagangan larang puniku, datan karuwan ajiné, nora bisa milangana, yèn lamun tan leresa pasthi tinuku ing lampus “( tuanku jika dagangan itu tak bisa dinilai harganya, andaika tidak benarpun, pasti akan dibeli dengan nyawa).
Kemudian sang putri mencubit dadanya, kemudian lanjutnya;” kang-ora-ora pinikir, manira mangsa awèha, lamun dinukan sang Katong nyuwun ngapura, mangsa silèh tégaa ’ ( jangan berpikir yang tidak-tidak, aku tentu tidak rela meski dmarahi sang Prabu, aku mintakan pengampunan, kakang tentu aku tidak tega).
Raden Pabelan kemudian merangkul sang retna dan segera dibopong masuk kedalam kamar pinasri. Sehari semalam Sang Pabelan tidak ingat pulang kerumah, demikian sang putri tidak ingat apa yang terjadi di luar kamar. Sang putri tidak ingin keluar kamar, bagaikan orang yang sedang kelaparan, maka belum terpuaskan juga keinginannya. Bak orang makan, selalu ingin tambah, meskipun berkali-kali , namun tidak ada rasa kenyangnya.
Malam harinya sang retna mendekati Raden Pabelan;” lah kakang, kados punapa lamun awèta mangkéné, becik kakang amantuka matur marang paman Tumenggung, acaosa ing sang prabu, anyuwuna ing manira”( kanda, betapapun kanda disini sebaiknya pulanglah dahulu, kanda minta pada Paman Tumenggung untuk memberitahu kanjeng rama, melamar diriku).
“ nadyan angger kajambara, kanjeng Sultan dhatenga dukané, kawula mangsa sélaka, nadyan pejah gesanga, saking kawratan sihing rum, tan ajrih kawula pejah”(meski hamba ini ketahuan kanjeng Sultan dan mendapatkan amamrahnya, semuanya aku terima, tidak akan berkilah, kakrena demi cintaku dinda, aku tidak takut mati).
“ kakang sampun lami-lami andika ing pura, manawi wonten kang anon, nadyan kathah kang uninga, yèn rama sampun lila tan kuwatir manahingsun, nanging sun wangeni sapasar nunten balia, aja lawas-lawas baé, datan wandé kula pejah yèn pisah lawan andika” ( kakang sebaiknya jangan terlalu lama disini, nanti kalau ada yang tahu, meski banyak yang tahu kalau sudah diijinkan oleh kanjeng rama, hatiku tiak akan khawatir lagi).
Kemudian Raden Pabelan merangkul sang putri dan menciuminya ,“ pun kakang amulih Gusti, angger mangké wayah ngisa “ ( aku akan pulang yayi, tetapi setelah waktu isa’).
“ kakang , wayah bakda ngisa,lah kakang dipun énggal ” ( kakang jangan menunggu setelah waktu Isa’, segeralah kakang ).
Kemudian raden Pabelan bergegas meninggalkan kaputren. Kemudian segera lari mendekat tembok pagar kaputren, ingat akan pesan orang tuanya, cara untuk keluar dari pagar kaputren tanpa harus melompati pagar berduri. Kemudian segera membaca materanya, ilmu yang diberikan oleh Tumenggung Mayang kepada putranya, dan juga cara penggunaannya. Tetapi berkali-jkali dicoba tetapi pagar Baluwarti tak bergeming. Padahal ketika masuk, tembok itu bisa terbuka , tetapi kini kebalikannya, bergeming saja tidak. Berkali-kali matera dibaca, tetapi berkali-kali pula tanpa hasil.
Bergetar juga hati Raden Pabelan, ia merasa cemas, jangan-jangan ketahuan oleh penjaga. Kalau ini terjadi maka tamatlah riwayatnya. Katanya dalam hati ;” lamun ingsun angemasi iki wus dadi takdiring Ywang, pati kang prayoga, ananging barenga sang putri sekaring pura” ( kalau aku mati, itu sudah menjadi takdirku, tetapi aku tidak mati sendiri, harus bersama sekaring kedaton).
Raden Pabelan kemudian berlari lagi kedalam bangsal kaputren, sang retna masih belum tidur. Pabelan segera masuk kamar tidur sang putri dan mendekati. Sang retna menyapanya;” kakang bagéné bali “ (kanda mengapa kembali lagi ).
“ dhuh gusti mirah ingwang, tan sageda tilar gusti putri pisah lan andika, tansah cumanthèl jroning nala yayi ”( dinda pujaanku, aku tak bisa meninggalkanmu, hatiku telah tertambat ), tukas raden Pabelan menutupi kebohongannya.
Tangan raden Pabelan segera ditarik kedadanya, kemudian keduanya duduk bersanding sambil mengungkapkan perasaannya, sesekali tertawa riang, dan akhirnya keduanya asyik masyuk di arena lautan asmara. Semuanya diabaikan, emban Soka yang berkali-kali mengetuk pintu bangsal kaputren, tetap tidak dibukakannya. Beberapa emban menjaga di depan pintu, mungkin ada sesuatu di dalam kamar sang retna, mengapa berkali-kali diketuk tidak dibuka pintu.
“ déné njeng ratu Mas apan wus tigang dina apan iya nora mijil, jro pagulingan ana swaraning jalmi ”( mengapa gusti putri sudah tiga hari ini tidak keluar kamar, tetapi kami mendengar bahwa dikamar sang retna ada suara lain).
Emban satunya berbisik;” iki kaya ana swaraning wong lanang, swarané pating kalesik, apagujengan, payo dèn intip “(ini seperti ada suara lelaki, mereka bercanda, mari kita intip).
Para emban kemudian mendekat disebelah kanan dan kiri bangsal kaputren mencari cara untuk bisa melihat apa yang terjadi didalam kaputren.
Raden Pabelan memegang kedua tangan sang putri, kedua matanya ditatap dalam-dalam, seraya berkata; “ manira anedha janji dhateng ratumas, kados pundi ing karsi, boten sandé kawenangan ing njeng Sultan, kawula dèn pejahi mring ramanta Sultan” ( dinda pujaan hatiku, aku minta pertimbangan darimu, bagaimana kehendak diajeng nanti, karena tak ayal lagi juga akan ketahuan oleh sang Prabu, da tentu aku akan menerima hukuman mati ).
Sang retna menjawab pelan; “ lara pati sun bélani, mangsa tégaa kakang kula labuhi ’ ( sakit hingga kematian yang memisahkan kita, akupun juga tidak akan sampai hati meninggalkan kanda, apapun resiko aku akan hadapi ).
Para emban yang ada di luar bangsal kaputren semua melihat kejadian itu dan juga mendengar apa yang mereka bicarakan. Sebagai pamomong para emban mempunyai tugas dan kuwajiban untuk menjaga keselamatan tuan putri, apapun yang terjadi di dalam kaputren harus dilaporkan pada sang raja, bila tidak melaporkannya maka sebagai gantinya para emban akan menerima hukuman mati, termasuk seluruh keluarganya.
Para emban juga menyadari seandainya anaknya mendapat pasangan seperti raden Pabelan memang tidak akan menolaknya. Tetapi kali ini persoalannya lain, mereka kini sedang melaksanakan tugas memelihara, mengawasi asuhannya. Sehingga tidak boleh terjadi sebuah kelalaian. Apalagi ada maling aguna yang berani masuk ke dalam kaputren, ini bisa mendapat hukuman yang berat karena lalai tidak memberitahukan pada penjaga kaputren, ataupun kepada sentana dalem.
Geger di halaman Kaputren
Di Sitihinggil kanjeng Sultan Hadiwijaya (1548-1583 M) sedang ada pasewakan agung, hadir para sentana dan nayakapraja, juga segenap para bupati lengkap. Dari Sri Manganti emban Inya berlari sambil menangis “ ketiwasan gusti, ketiwasan gusti”( celaka sinuhun, celaka sinuhun).
Kemudian segera memasuki ruang paséwakan, sambil menangis. “ agé matura inya, aja anangis ana jroning pasewakan, matura enggal “( cepat katakanlah, ada apa sebenarnya, jangan menangis di dalam acara pertemuan ini ).
“ Duh Gusti ketiwasan, kula ingkang rumesèng putra ji, ing kedhaton kalebetan maling aguna, pan inggih nyidra resmi putra paduka atu Sekar kedhaton, cinidrèng ing asmara Raden Padbelan kang nami, inggih Tumenggung Mayang kang darbé siwi” ( celaka Tuanku, kami yang dipercaya untuk menjaga putra paduka sang retna ayu Sekar Kedaton, melaporkan bahwa dipuri kaputren telah kemasukan maling aguna, yang mencuri hati tuanku putri oleh radèn Pabelan putra Tumenggung Mayang).
Sultan Pajang seperti mendengar suara petir di siang bolong,setelah mendengar laporan emban Inya, seketika itu tidak bisa mengendalikan diri, dadanya terasa sesak mengepulkan api amarah yang tak terhingga, kedua matanya merah mengeluarkan bara api yang akan melebur semua yang ditatapnya, tangannya mengenggam erat, gigi gemeretak, bibirnya bergetar menahan luapan amarahnya.
Kemudian memerintahkan wimbasara untuk mengumpulkan pasukan khusus sandiyuda. Kemudian wimbasara maju melaporkan bahwa pasukan sudah siap dan menunggu perintah.
“ Surakarti lan Wiratanu, pakenira pandhégani, lumebwèng jroning puri, cekelen maling aguna si Pabelan anake Tumenggung Mayang, iriden ana ing alun-alun pamagangan, yèn nyembadani sun paring purbawasésa patènana” ( Surakerti dan Wiratanu, kalian aku perintahkan untuk masuk kedalam kaputren, tangkap si maling aguna Pabelan anaknya Tumenggung Mayang, kalau dia melawan bunuhlah).
Yang ada di kaputren, para emban, cèthi semua sudah berikrar untuk ikut mati bersama sang Putri. Sementara itu sang retna sekar Kedaton memegang erat lengan raden Pabelan, serasa tak mau di pisahkan, mereka sudah sepakat untuk rela mati bersama demi hasrat cintanya.
Ketika itu lurahing tamtama Kanjeng radèn Ngabehi Surakarti, yang memimpin pasukan memasuki puri kaputren dan segera mengepungnya, ia pun mendesak maju untuk mendobrak pintu kaputren.
Tetapi dari dalam Ratu Mas Murtèngningrum keluar dari ruang kaputren sudah bergandeng erat, sementara di belakangnya para nyai emban pengasuh tuan putri sudah siap untuk sabéla pati sabéla mukti . Melihat keadaan yang seperti itu, Raden Ngabèhi Surakerti mundur beberapa langkah, dan berembug dengan beberapa pembantunya.
Beberapa prajurit yang lain supaya mengepung melalui pintu lainnya. Kemudian ki Ngabèhi Surakarti, masuk lagi ke dalam puri kaputren dan mendekati Raden Pabelan.
“ anakingsun Pabelan, pun paman ingkang ngaturi, metua inggal, sira ingsun bisiki, lah ta radèn aja maras atènira, sun kang nanggung sirèki, lamun tekèng pejah pu paman belanana, njeng Sultan wus pracaya marang mami, wong dosa pejah yèn ingsun kang ngalingi apan ingsun pinasrahan jroning pura, marang Gusti Aji tuwin ramanira kakang Tumenggung Mayang. Manira wineling kalamun sira ana sajroning puri” (anakku Raden Pabelan, ini paman yang memintamu, keluarlah anakk kau uberitahu, jangan engkau merasa takut dan was-was, aku yang akan menjaminmu, kalaupun sampai mati maka pamanlah yang akan membelamu, karena aku telah diberi wewenang oleh Raja, dan beliau menyerahkan segala sesuatu padaku, termasuk ayahmu, aku diberitahu bahwa kau memang ada di dalam puri kaputren).
Pada saat itu Raden Pabelan sudah dicegah oleh sang putri tidak perlu keluar, kecuali ayahnya sendiri yang datang tetapi Raden Pabelan memang hatinya lemah, mudah percaya pada orang lain, sehinga sikap kewaspadaannya pun berkurang. Ia beranggapan seperti dirinya, orang lain mesti baik seperti apa yang dikatakannya.
Oleh sebab itu Raden Pabelan keluar dari bangsal kaputren;” kawula arsa mijil paman, kang nanggel kula Gusti, pan punika wineling dhateng pun rama, katur Sri Bupati” Aku akan keluar, paman yang memberikan jaminan keselamatanku, dan Gusti ayu sudah menjamin kami berdua, kanjeng Rama juga sudah tahu, dan telah disampaikan kepada kanjeng Sultan).
Sang putri kemudian melepaskan pegangannya, jantungnya semakin berdebar keras, hatinya menjadi semakin gundah, beberapa pintu puri kaputren terbuka, menyembul beberapa orang prajurit pengawal dalam, dengan senjata lengkap. Ngabèhi Wiratanu menyuruh emban pangasuh untuk membawa tuan putri masuk dalam kedaton. Sementara itu pintu keluar sudah terjaga rapat. Pasukan semakin merangseg maju mengepung Raden Pabelan. Raden Pabelan bermaksud mendatangi Ngabèhi Surakarti dan menghaturkan sembah, ketika sedang berjongkok memberi penghormatan, melesat dari kanan dan kiri dua prajurit sandiyuda yang sudah memegang keris, serentak keduanya menghunjamkan senjata kelambung kanan dan kirinya raden Pabelan.
Raden Pabelan menjerit keras, mengerang dan tewas seketika. Kemudian secara bertubi-tubi pasukan yang turut mengepung kaputrèn juga serentak beramai-ramai menghunjamkan senjatanya ke tubuh radèn Pabelan. Tubuhnya terkapar di tanah bersimbah darah, mulutnya tersungging senyum kepuasan. Seluruh tubuhnya berlobang karena tusukan pedang dan keris. Kemudian tubuh yang tak bernyawa itu diseret di buang di kali Lawéyan.
Kedua orang tuanya yaitu Tumenggung Mayang dan isterinya juga menyaksikan nasib malang yang di derita anaknya, mayatnya yang di buang begitu saja di kali Lawéyan, hatinya sedih. Tumengung Mayang menyuruh beberapa orangnya untuk mengambil jenasah anaknya, dan agar di kebumikan dengan baik
Sementara itu Tumenggung Mayang dalam hatinya merasa terharu dan menyesal atas perlakuan pada putranya sendiri, menjerumuskan pada jalan kematian. Betapa pun orang tua terhadap anak ; téga larané ora téga patiné .
ooo ooooo surem surem diwangkara kingkin lwir manguswa kang layon................
Catatan :
Dari kejadian ini, merupakan awal bencana keruntuhan Kasultanan Pajang
Sindoro Sumbing, 2 Juni 2010
Sumber:
Babad Demak II (1937)