Semuanya berjalan seperti yang aku harapkan. Hampir setahun aku menjalankan tugas dengan baik. LSM tempatku bekerja memberi penilaian bagus dan sudah mempersiapkan kontrak untuk tahun berikutnya ketika situasi tiba-tiba berubah drastis.
20 Mei 2014, setelah suhu politik Negeri Gajah Putih memanas dan situasi berkembang semakin tidak menentu, tiba-tiba pihak militer Thailand menyatakan negeri itu dalam kondisi darurat militer. Saat itu militer menegaskan keadaan darurat itu bukanlah sebuah aksi kudeta, tetapi yang kulihat dan kudengar dari berita-berita yang beredar, ribuan tentara didukung persenjataan dan kendaraan tempur disebar ke lokasi-lokasi vital, seperti pusat-pusat perekonomian, stasiun televisi, dan kawasan-kawasan perhotelan. Dugaanku tidak meleset, dua hari kemudian Angkatan Darat menyatakan kudeta resmi terhadap terhadap pemerintahan Perdana Menteri Yingluck Shinawatra.
Meski pekerjaan terganggu, tapi kupikir situasi akan cepat reda dan sebagai ekspatriat yang bekerja pada sebuah LSM yang menitikberatkan pada kegiatan sosial kesehatan, situasi politik tidak akan berpengaruh banyak padaku. Jadi, walau sedikit merasa cemas, aku memutuskan bertahan di sana.
Lalu kejadian-kejadian kecil yang mengganggu mulai menyapa keseharianku. Kesulitan berawal ketika jam malam diberlakukan mulai pukul 22.00 (saat toko-toko diharuskan tutup dan transportasi umum harus menghentikan operasi) sampai pukul 05.00 pagi. Yang lebih memprihatinkan, militer memblokir semua media elektronik, termasuk jaringan internet, dan hanya difungsikan untuk menyampaikan informasi dari pemerintah darurat militer.
Situasi serba sulit, toh tak juga menciutkan nyaliku untuk tetap bertahan sampai kejadian ganjil mulai bersentuhan langsung dengan diriku. Mula-mula adalah hilangnya beberapa barang pribadi dari kamar apartemenku; Mug, SIM Indonesia, Flashdisk, dan barang-barang lainnya raib berturut-turut. Aku tidak merasa curiga, kupikir aku menghilangkannya secara tidak sengaja atau kalau toh merupakan tindak kriminal, hilangnya barang-barang kecil itu tidak terlalu mengganggu.
Tapi keyakinanku goyah ketika teman sepekerjaan memberitahu bahwa ia kerap menerima telepon yang menanyakan informasi tentang aktifitas keseharianku. Aneh, penelpon itu bahkan menanyakan rutinitas jam tidur, mandi, keluar apartemen, ke Mall. Penelpon gelap itu juga meminta alamat dan nomor kamar apartement, bertanya tentang warna pakaian, sepatu dan lain-lainnya.
Sejak saat itu aku mulai dibayangi ketakutan. Ini mulai mirip adegan-adegan film spionase yang pernah kutonton. Dan puncaknya adalah ketika di kamar apartemenku tercium aneh, semacam obat-obatan!
Aku mulai panik. Lingkungan tempat tinggalku terkenal sebagai kawasan merah, tempat bersarang pelaku kejahatan terorganisir. Sudah sering aku mendengar kabar tentang aksi pemerasan yang dilakukan oleh kelompok preman di sana. Modusnya adalah menjebak korban (biasanya yang disasar pekerja ekspatriat) dengan meletakkan barang bukti narkotika pada aset sasaran lalu mengancam akan melaporkan pada polisi jika korban tidak mau menerahkan sejumlah uang. Hebatnya, jaringan penjahat itu juga memiliki anggota yang tugasnya menjadi polisi atau petugas imigrasi gadungan. Aparat palsu ini mendatangi korban yang telah dijebak, mengancam menyita dokumen-dokumen, memasukkan ke penjara dan seterusnya. Yang membedakan dengan petugas beneran adalah mereka dengan gamblang meminta sejumlah uang untuk menutup kasus yang mereka jeratkan kepada korban.
Maka, ketika bayang-bayang mereka kurasa mulai menyatroni ruang-ruang pribadiku, kuputuskan secepat mungkin meninggalkan negeri yang sedang bergolak itu. Aku mencoba mengakses internet untuk mendapatkan tiket penerbangan secara online karena kupikir lebih aman daripada langsung ke bandara. Tapi seperti yang kuceritakan di atas, pemerintah darurat militer telah memblokir seluruh media elektronik, termasuk biro-biro ticketing. Aku lantas menelpon KBRI.
Jawaban yang kuterima dari KBRI membuatku makin kecut. Mereka menyarankan agar aku mengamankan semua identitas aset yang kumiliki. "Fred, Anda sebaiknya berhati-hati mulai sekarang. Kalau ke laundry sebaiknya jangan terus ditinggal, tunggu, gosok, lipat, bungkus, dan segera bawa masuk ke kamar dan kunci pintu."
Bah, ini sudah keterlaluan. Beberapa kawan asal Indonesia yang merasa dibayang-bayangi ancaman memilih pindah apartemen. Kami juga terpaksa harus sering mengganti SIM-Card telepon seluler demi keamanan. Situai seperti ini sudah tidak tertahankan, dan aku memutuskan untuk tidak menandatangani kontrak kerja baru yang seyogyanya berlaku mulai 4 Agustus 2014. Aku tidak menjelaskan situasi yang kuhadapi pada pihak kantor, aku hanya beralasan kesehatanku tidak memungkinkan untuk bertahan di sana.
Akhirnya, setelah melalui berbagai trik untuk menjamin keselamatan (aku sengaja meminta pergantian jadwal penerbangan yang lebih awal, menggunakan taxi VIP langsung dari pool dengan sopir pribadi -biayanya tiga kali lipat- daripada taxi bandara) aku berhasil mencapai Bandara Don Mueang (sekarang bernama Bandara Suvarnabhumi). Aku baru bisa benar-benar bernafas lega setelah seluruh kenangan, baik yang menyenangkan maupun yang mencekam, tertinggal di landasan pacu saat pesawatku tinggal landas, terbang menuju Jakarta.