Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Perceraian Rama & Sinta [Edisi Ramayana Suka-suka Saya]

24 Maret 2011   02:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:30 404 8
Pada senja yang temaram pertemuan itu terjadi. Tangis haru memecah tak bisa dicegah. Semua larut dalam kebahagiaan yang berbalut airmata. Sukacita merebak dan menyebar kemana-mana. Setelah sekian lama ditawan oleh Rahwana, akhirnya Sinta bisa kembali ke pangkuan Rama. Namun itu tidak bertahan lama, mendadak Rama berdiri dan melepas Sinta dari pelukannya.

“Aku tidak bisa menerimamu kembali begitu saja Sinta,” ucap Rama tiba-tiba.

“Mengapa bisa begitu Kanda? Bukankah selama ini kau telah mempertaruhkan segalanya guna merebutku dari Rahwana? Tapi setelah aku kembali, kenapa engkau berbalik seperti ini?”

“Kepercayaanku sudah luntur semenjak engkau tidak mematuhi perintahku untuk tetap berada di lingkaran saat berada di hutan Kamandaka.”

“Kanda, bukankah semua itu sudah lalu? Kenapa engkau masih mengungkit-ungkitnya? Aku tetap Sinta, istrimu yang setia dan selalu mencintaimu.”

“Aku tak perlu ucapan, aku hanya ingin bukti bahwa kau setia.”

“Apakah kesetiaanku selama ini masih kurang?”

“Kau ditahan Rahwana selama beberapa waktu, mustahil dia tidak melakukan sesuatu padamu.”

“Kanda, kau pikir aku wanita macam apa? Dia tak pernah melakukan apapun padaku. Bahkan menyentuh kulitkupun tak pernah aku ijinkan. Apakah itu kurang cukup bagimu? Harus kubuktikan dengan apa lagi kesetiaanku?”

“Bakar dirimu. Melompatlah ke api pembakaran itu. Saat kucium aroma wangi dari asap yang keluar dari pembakaran itu adalah pertanda bahwa kau masih suci dan benar-benar perempuan setia.”

“Kemudian aku meninggal. Apa baiknya dari itu semua?”

“Meski kau meninggal, cinta dan kesetianmu akan tetap terpatri dihatiku, itu yang lebih utama.”

“What? I’m sick of you Rama. Aku sudah capek dengan semua ego dan arogansimu. Kenapa kau hanya memikirkan dirimu, kesenanganmu serta kebahagiaanmu sendiri tanpa pernah mempedulikan perasaanku? Apakah ini yang dinamakan cinta? Aku tidak sudi membakar diri.”

‘Sinta, aku adalah penguasa dan ksatria di negeri ini, semua harus tunduk pada ucapanku. Aku akan menceraikanmu jika kau tak mematuhi sabdaku!”

“Baiklah, aku memilih bercerai daripada harus menuruti semua keinginan gilamu. aku mencintaimu, namun bukan begini caranya. Selamat tinggal kanda.”

Sinta berjalan pelan sambil mengemasi barang yang dia punya. Semua orang menyaksikan dengan heran atas semua hal yang baru saja terjadi. Beberapa tahun kemudian tersiar kabar bahwa Sinta hidup bahagia di negara tetangga. Setelah bercerai dengan Rama, dia menikah dengan seorang pemahat batu tampan yang mencintainya dengan sepenuh hati. Mereka hidup bersahaja dan bahagia bersama anak-anak mereka. Sedangkan Rama, kabarnya dia sudah menikah lebih dari 5 kali, dan selalu diakhiri dengan kematian tragis dari istri-istrinya. Ini bukan karena kutukan Sinta. Melainkan Rama yang egois selalu menyuruh istrinya membakar diri setiap kali meragukan cinta dan kesetiaan mereka.

Epilog

Hai perempuan. Ini hidupmu, kau memiliki kekuatan untuk memilih dan menjalaninya sesuai dengan caramu. Kebahagiaan itu ada di hati, bukan pada pandangan masyarakat dan orang lain tentangmu. Genggam duniamu, jalanilah hidupmu dengan sepenuh hati.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun