Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Monumentasi Budaya versus “Gairah Syariah” di Purwakarta

7 November 2012   12:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:48 461 2

Memang banyak versi mengenai asal-usul istilah Purwakarta. Namun demikian, dalam istilah Sansekerta yang paling umum, Purwakarta seringkali dinisbatkan pada dua kata: purwa dan karta. Purwa artainya pertama atau utama, sedangkan karta artinya: aman, tenteram, dan tertib.[1] Karenanya dengan mudah dapat ditebak bahwa para pendiri kota ini menyimpan harapan atas terbagunnya Purwakarta sebagai sebuah kota utama yang aman, tenteram, dan tertib.

Namun belakangan, sesuatu yang ironis terjadi. September 2011, kota Purwakarta membara. Ribuan orang dari kalangan ormas Islam menghancurkan sejumlah patung di beberapa titik jalan utama kota Purwakarta. Aksi penghancuran dan pembakaran patung itu konon ditenggarai sebagai bentuk protes keras warga terhadap kebijakan Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi yang kian gencar membangun patung hampir di setiap sudut kota. Apa sebenarnya yang menjadi latar belakang dan pertimbangan Bupati Purwakarta membangun patung di kotanya? Mengapa timbul gejolak dalam masyarakat terkait upaya pembangunan patung yang dilakukan Bupati Purwakarta? Bagaimana respon bupati dan para pihak lainnya atas kasus tersebut? Uraian singkat berikut akan mencoba berfokus untuk menjawab pertanyaan itu.

Impian sebagai Kota Estetik

Kehadiran tokoh-tokoh pewayangan –seperti Arjuna, Bima, Gatot Kaca, Semar, dan lain-lain– dalam suatu pertunjukan wayang seringkali menjadi hiburan tersendiri. Namun demikian, siapa sangka kehadiran tokoh-tokoh pewayangan yang jenaka itu juga dapat melahirkan prahara? Sejumlah media massa, Minggu (18/9/2011) melaporkan terjadinya amuk massa menghancurkan patung-patung tokoh pewayangan yang tak berdosa itu. Aksi tersebut ditenggarai merupakan akumulasi kekesalan warga terhadap Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi yang selama ini membandel dan terus membangun patung wayang, meskipun sejumlah pihak berkali-kali mengingatkannya untuk menghentikan proyek pembangunan patung-wayang itu.

Agaknya, Dedi Mulyadi memang tidak bergeming. Ia bahkan tak jera untuk membangun kembali patung-patung yang lebih bagus. “Ini merupakan salah satu langkah membangun Kota Purwakarta dengan pendekatan estetik dan seni. Dengan demikian Purwakarta berbeda dengan daerah lain di Jawa Barat,” kilahnya. Dedi juga memberi alasan bahwa pemilihan patung wayang tersebut karena Purwakarta memiliki sejarah yang kental dengan tokoh pewayangan seperti Arjuna, Bima, Gatot Kaca, Semar, dan lain-lain. Karena itu, menurutnya, pembangunan patung wayang tersebut dapat membuat pertautan ikatan sejarah. "Anak-anak sekarang lebih paham tentang kartun, sementara tokoh pewayangan yang merupakan kearifan lokal kita, tidak tahu. Patung wayang itu bukan hanya pemanis saja, tetapi mempunyai makna kultural," tuturnya kepada sejumlah wartawan.[2]

Dedi Mulyadi barangkali bukan saja memimpikan kota yang estetik, ia juga bahkan mencitrakan dirinya sebagai tokoh eksentrik saat ia menolak bantuan mesin traktor dan alat-alat pertanian modern dari pemerintah pusat. Politisi Partai Golkar ini menilai, traktor kurang cocok digunakan di Purwakarta karena tidak sesuai dengan kultur pertanian yang berbasis kearifan lokal. Karena itu, ia meminta kepada pemerintah pusat, supaya bantuan mesin traktor itu diganti saja dengan kerbau. Menurut Dedi, menggunakan mesin traktor tidak sesuai dengan kultur petani Purwakarta. Apalagi, alat pertanian tersebut mengeluarkan limbah kimia. Sehingga, jika diakumulasikan limbah itu akan mencemari tanah. Akibatnya, unsur hara dalam tanah akan menghilang. Sebaliknya, jika membajak sawah dengan menggunakan kerbau justru banyak manfaatnya. Petani, bisa berinteraksi dengan hewan peliharaannya. Selain itu, hewan tersebut bisa mengeluarkan kotoran dan air kencingnya. “Kotoran tersebut bisa menjadi pupuk organik bagi sawah. Kemudian, kerbau tersebut memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi dibanding traktor,” ujar Dedi.[3]

Kembali ke soal estetika patung, politisi Partai Golkar ini mengatakan estetika kota itu bukan hanya soal bangunan saja, tapi harus diubah hingga kepada tingkat kehidupan masyarakat. "Jadi semua dikembalikan lagi kepada jati diri masyarakat. Itu yang mendorong kita agar Kota Purwakarta menjadi estetik," ungkapnya. Lebih lanjut Dedi menjelaskan, ke depan Purwakarta diproyeksikan sebagai kota estetik yang bukan hanya didorong melalui pembangunan patung, tapi juga berbagai hal lain yang menopangnya, termasuk sistem pertanian yang berbasiskan kearifan lokal. Untuk itu, menurutnya, dibutuhkan perjuangan dan kesadaran masyarakat dalam banyak hal, termasuk kesadaran dalam hal seni dan budaya yang akan menopang terciptanya Purwakarta sebagai kota yang estetik.[4]

Ketegangan Budaya dan Agama?

Idealitas kota estetik yang dibayangkan dan dibanggakan Bupati Purwakarta ternyata tidak serta-merta mendapat respon balik yang positif dari masyarakat. Sejumlah kalangan justru mencibirnya sebagai khayalan semu belaka. Dedi Mulyadi bahkan mendapat respon keras dari kalangan ormas Islam yang menudingnya akan ‘menyulap’ Purwakarta menjadi kota berhala dengan banyak terbangun patung wayang di sejumlah titik kota Purwakarta. "Kota Purwakarta sebagai kota santri tak pantas dijejali berhala. Ajaran Islam dengan tegas menyebutkan bahwa berhala merupakan simbol kemusyrikan, karenanya harus dimusnahkan," ujar salah seorang pendemo yang terlibat dalam aksi perusakan patung. Sementara pendemo lain mengutip visi pembangunan Kabupaten Purwakarta: cerdas, sehat, produktif, dan berakhlakul karimah. “Gagasan bupati sangat ironis, bertentangan dengan visi yang telah disepakati dan ditetapkan,” tambahnya.[5]

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun