Tiga jam setelah bom meledak di Solo, SBY langsung menuding kelompok Cirebon sebagai pelakunya … Ketika bom meledak di Oslo, justru pemerintah Norwegia dengan tegas menepis dugaan terorisme, seraya menyerahkan sepenuhnya kepada pihak kepolisian untuk segera menyelidikinya …
Dalam konteks perdamaian dunia, Norwegia memiliki reputasi tersendiri. Sejak awal tahun 1990-an Norwegia telah banyak memainkan peran penting dalam beragam proses rekonsiliasi dan perdamaian dunia. Lebih jauh lagi, keikutsertaannya dalam berbagai organisasi perdamaian dunia seperti NATO, OSCE , Cluster Munitions, dan terutama PBB telah menempatkan Norwegia sebagai negara terdepan dalam upaya perdamaian dunia. Bahkan, Sekretaris Jenderal PBB yang pertama, Trygve Lie, berkebangsaan Norwegia. Demikian juga ihwal penghargaan Nobel perdamaian yang bergengsi itu. Meskipun Alfred Nobel (1833-1896) berkebangsaan Swedia, namun dengan beragam alasan, wacana mengenai anugerah Nobel kini lebih mengacu ke Norwegia sebagai salah satu kiblat perdamaian dunia.
Karena itu, “serangan ganda” yang secara beruntun terjadi di Norwegia Jum’at, 22 Juli 2011 bukan saja mengejutkan warga Norwegia, namun peristiwa itu begitu menghentak dan mengejutkan dunia. Publik internasional dikejutkan dengan peristiwa itu karena selama ini Norwegia dengan segala reputasinya dikenal sebagai negeri yang aman dan damai. Dua aksi brutal yang terjadi di Norwegia itu sungguh telah mengkoyak dan menciderai suasana damai di negeri Viking itu.
Aksi pertama, bom yang meledak di dekat perkantoran Perdana Menteri Norwegia di jantung kota Oslo. Ledakan ini memporak-porandakan sejumlah bangunan milik pemerintah. Target utamanya adalah jantung pemerintahan Partai Buruh, termasuk dan terutama kantor Perdana Menteri Norwegia, Jens Stoltenberg serta kantor Kementerian Keuangan dan Perminyakan. Meskipun Jens Stoltenberg dan jajaran kabinetnya dikabarkan selamat dalam insiden itu, namun peristiwa ini telah merenggut setidaknya 7 orang korban tewas dan belasan korban lainnnya luka-luka.
Aksi kedua, secara hampir bersamaan terjadi di Utøya, sebuah pulau kecil di selatan Oslo. Dalam aksi brutal ini, seorang pria bersenjata yang menyamar sebagai polisi, melakukan penembakan secara membabi-buta di sebuah acara perkemahan pemuda yang sedang digelar Partai Buruh, partai yang kini menjadi “the ruling party” di Norwegia. Radio dan televisi NRK/Norsk Rikskringkasting mengabarkan, setidaknya 86 orang korban meninggal dan puluhan lainnya luka-luka dalam peristiwa yang memilukan itu. "Apa yang terjadi di Utøya merupakan tragedi nasional. Sejak berakhirnya Perang Dunia Kedua kami belum pernah menemukan kejahatan yang lebih besar dari ini," ujar Perdana Menteri Norwegia, Jens Stoltenberg.
Banyak kalangan menilai serangan tersebut merupakan tragedi terburuk bukan saja di Norwegia, tapi dalam sejarah Eropa, paling tidak setelah teror Madrid, pada Maret 2004 silam. Atas kedua tragedi tersebut, berbagai spekulasi pun segera bermunculan. Setidaknya, ada tiga spekulasi yang kemudian mengemuka. Spekulasi pertama lebih melihat serangan itu sebagai suatu intrik politik dalam negeri. Dua tragedi Norwegia ini terutama dipersepsi sebagai serangan yang ditujukan terhadap rezim Partai Buruh yang dilakukan oleh partai-partai saingannya.
Spekulasi kedua dihubung-hubungkan dengan Lillehammer Scandal yang terjadi pada 1973. Konon, saat itu terjadi “salah operasi intelijen” yang berakibat pada buruknya hubungan diplomatik antara Norwegia dengan Israel. Lillehammer Scandal ini berujung dengan penangkapan beberapa anggota Mossad oleh polisi Norwegia dan terungkap sebagian besar jaringan Mossad di Eropa dan beberapa kasus pembunuhan tokoh Black September lainnya yang sebelumnya berhasil dijaga kerahasiaannya oleh Mossad. Cerita ini kemudian dihubung-hubungkan dengan konteks kekinian dimana semangat Peace Buiding yang dipromosikan Norwegia, terutama dalam kaitannya dengan dukungannya terhadap kemerdekaan Palestina yang seringkali berseberangan dengan politik luar negeri Israel.
Spekulasi ketiga yang paling banyak muncul adalah rumor lama mengenai Islamo fobia dan memposisikan gerakan “Islam radikal” sebagai tertuduh yang ada di balik kekejian dua peristiwa itu. Spekulasi ini antara lain didasarkan pada upaya-uapaya massif pemerintah Norwegia yang kini getol bergulat dengan isu terorisme, terutama terkait dengan upaya memburu jaringan Al-Qaeda. Dua orang yang diduga memeliki keterlibatan dengan Al-Qaeda saat ini sedang mendekam di salah satu penjara di Norwegia. Sebelumnya,salah seorang jaksa penuntut di Norwegia juga mengajukan dakwaan teror terhadap seorang ulama kelahiran Irak, Mullah Krekar, pendiri kelompok Ansar al-Islam yang dituduh melakukan ancaman pembunuhan terhadap salah seorang politisi Norwegia. Dengan berbagai latar belakang ini, maka spekulasi “Islam radikal” seakan mendapat penguatan atas dua kasus yang terjadi di Norwegia itu.
Namun demikian, Perdana Menteri Norwegia, Jens Stoltenberg seakan tak terpengaruh dengan berbagai rumor dan spekulasi yang berkembang. "... sekali lagi saya sangat menggarisbawahi bahwa kami tidak akan berspekulasi. Kami akan menunggu penyelidikan polisi sebelum mengatakan apapun mengenai kasus ini ...," ucap Stoltenberg seperti dilansir CBS News. Sang Perdana Menteri bahkan dengan tegas menepis dugaan terorisme kelompok tertentu dengan hanya mengatakan bahwa aksi itu sebagai serangan terhadap demokrasi. Dengan penuh percaya diri, Sang Perdana Menteri mengungkapkan: “Mereka akan gagal menghancurkan masyarakat terbuka Norwegia dan cita-citanya untuk menciptakan dunia yang lebih baik. Aksi itu dapat membunuh manusia, tapi tidak dapat mematikan nilai-nilai yang kita semua percayai. Saat ini adalah saat dimana kita harus berdiri bersama dan saling menguatkan serta lebih peduli kepada satu sama lain, serta menunjukkan bahwa kejadian ini hanya akan menguatkan Norwegia sebagai negara yang demokratis dan peduli pada kemanusiaan,” ujarnya.
Sikap tersebut tentu sangat kontras misalnya bila dibandingkan dengan reaksi Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) saat menyikapi musibah ledakan bom yang terjadi di Solo. Berbeda dengan Stoltenberg yang berhati-hati dan berempati, tiga jam setelah bom meledak di Solo, dengan gegabah SBY langsung menuding kelompok Cirebon sebagai pelakunya. Padahal, polisi dan jajaran intelijen saja saat itu belum mengungkapkan temuannya. Alih-alih mencari solusi dan menenangkan masyarakat, pernyataan SBY yang serampangan itu seakan menjadi teror tersendiri bagi masyarakat. Dalam konteks ini, agaknya, sikap Stoltenberg dapat menjadi pelajaran berharga bagi kita semua.
Setidaknya, ada dua pelajaran penting yang dapat diambil dari sikap Stoltenberg. Pertama, sikap hati-hati dan empati. Sebagai pemimpin pemerintahan tertinggi, Stoltenberg tidak serta-merta mengintervensi sebuah peristiwa. Secara profesional ia mempercayakan penanganan kasus itu sepenuhnya kepada ‘yang berwajib’, yaitu jajaran kepolisian dan intelijen untuk mengungkapnya. Kedua, di tengah suasana duka yang mendalam, Stoltenberg tidak terjebak pada sikap ‘cengeng’ dan sentimentil, apalagi menyudutkan kelompok tertentu. Ia justru mampu membangun sikap positif yang menentramkan. Sikap positif ini sejatinya yang akan tumbuh menjadi semangat counter-terrorisme yang pada gilirannya kemudian menjalar menjadi semacam “provokasi damai” yang didukung segenap kalangan masyarakat.