Pendahuluan
Reformasi 1998 ibarat kotak Pandora yang terbuka. Cornelis Lay (2006) melukiskan bahwa pembukaan selubung otoritarianisme Orde Baru telah membawa ke permukaan semua kebobrokan yang terpendam sangat dalam dan terbungkus sangat rapi di lahan politik Orde Baru selama lebih dari 32 tahun. Semua kebobrokan yang pernah dikenal peradaban politik umat manusia kini berhamburan dengan sangat cepat ke permukaan menjangkau sembarang orang, sembarang kawasan, bahkan sembarang sektor kehidupan masyarakat Indonesia.[1]
Namun demikian, transisi demokrasi pasca reformasi ini juga ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, menawarkan demokratisasi dengan ragam kebebasan yang menyertainya, termasuk dan terutama kebebasan informasi. Di sisi yang lain, proses transisi ini –diakui atau tidak– telah membawa banyak kesulitan, terutama tampak pada makin sulitnya pemerintah mengelola political goods. Banyak pihak berasumsi bahwa kebebasan yang kebablasan menjadisalah satu penyebab pemerintah kesulitan mengatur dan mengelola political goods. Ini antara lain tampak pada makin banyaknya persoalan yang ’menggantung’ sehingga memperlihatkan kinerja dan kapasitas pemerintah yang tidak efektif (ungovernability) di tengah anugrah kebebasan yang membuncah.
Kebebasan dan keterbukaan tentu merupakan anugrah yang diharapkan banyak pihak. Sebaliknya, ketidakpastian dan ketidakteraturan (chaos) menjadi sesuatu yang harus dihindari. Dalam konteks inilah kebebasan informasi diharapkan menjadi spiritdemokratisasi yang menawarkan kebebasan sekaligus tanggung jawab secara bersamaan. Kebebasan informasi, di satu sisi harus mendorong akses publik terhadap informasi secara luas. Sementara di sisi yang lain, kebebasan informasi jugasekaligus dapat membantu memberikan pilihan langkah yang jelas bagi pemerintah dalam mengambil suatu kebijakan secara strategis. Iklim seperti ini pula yang diharapkan dapat melahirkan model governability[2] dimana negara dapat memfungsikan dirinya secara efektif dan efisien tanpa mengesampingkan prinsip-prinsip demokrasi.
KIP Suatu Keniscayaan
Hadirnya Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) merupakan tonggak penting bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Sebagai sebuah bentuk freedom of information act, undang-undang ini mengatur pemenuhan kebutuhan informasi yang terkait dengan kepentingan publik. Kehadiran UU KIP sekaligus memberikan penegasan bahwa keterbukaan informasi publik bukan saja merupakan bagian dari hak asasi manusia secara universal[3], namun juga merupakan constitutional rights sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28F perubahan kedua UUD 1945.[4]
Banyak pihak berharap, hadirnya UU KIP mampu mendorong iklim keterbukaan yang luas di berbagai level. Keterbukaan informasi publik diyakini dapat menjadi sarana penting untuk mengoptimalkan pengawasan publik terhadap penyelenggaraan negara maupun aktivitas badan publik lainnya yang mengurusi kepentingan publik. Salah seorang perumus Undang-Undang Dasar Amerika, James Madison, bahkan pernah menyebutkan bahwa keterbukaan informasi merupakan syarat mutlak untuk demokrasi yang berarti pula perwujudan kekuasaan yang terbatas dan berada dalam kontrol publik.[5]Keterbukaan informasi memberi peluang bagi rakyat untuk berpartisipasi dalam berbagai kebijakan publik. Kondisi ini sekaligus dapat mendorong terciptanya clean and good governance karena pemerintah dan badan-badan publik[6] dituntut untuk menyediakan informasi yang lengkap mengenai apa yang dikerjakannya secara terbuka, transparan dan akuntabel.
Namun di tengah harapan yang membuncah itu, muncul pula sejumlah kekhawatiran dan kesangsian mengenai efektivitasnya UU KIP ini dalam tataran implementasinya. Hal ini disebabkan karena masih adanya kenyataan bahwa tidak sedikit aturan perundang-undangan yang substansinya demokratis, namun pelaksanaanya justru kontraproduktif dengan semangat demokrasi. Dalam konteks ini, kehadiran Komisi Informasi merupakan momentum strategis yang ditunggu-tunggu. Selain merupakan imperatif normatif UU KIP[7], keberadaan Komisi Informasi tentu diharapkan menjadi implementor yang mampu mengejawantahkanfreedom of information act secara signifikan. Pertanyaannya kemudian, bagaimana arah dan orientasi Komisi Informasi sehingga mampu mendorong terciptanya governability melalui keterbukaan informasi publik sebagai salah satu kuncinya.
Komisi Informasi, Quo Vadis?
Keberadaan Komisi Informasi dalam konteks pemajuan hak dan keterbukaan informasi, setidaknya dapat dikaji dari tiga level: nilai-nilai atau gagasan, level regulasi, dan implementasi. Pada level nilai atau gagasan kita akan menemukan diskursus mengenai visi yang berkembang tentang mengapa keterbukaan informasi publik menjadi penting di Indonesia. Hal ini kemudian melahirkan argumen turunan, misalnya mengapa regulasi mengenai keterbukaan informasi publik perlu diperjuangkan. Argumen yang sama, secara konsisten juga harus dijadikan fondasi yang menjadi visi dasar mengapa Komisi Informasi harus dibentuk.
Dengan begitu, ketika kita berbicara mengenai visi Komisi Informasi, maka élan vitalnya harus dikembalikan pada dasar argumen lahirnya UU KIP yang kemudian menuntut dibentuknya Komisi Informasi. Argumen ini pula yang kemudian muncul menjadi salah satu ratio legis UU KIP. Ada lima point yang menjadi dasar pertimbangan lahirnya UU KIP. Salah satu diantaranya menyebutkan bahwa memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia dan keterbukaan informasi publik merupakan ciri penting negara demokratis yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat untuk mewujudkan penyeleng-garaan negara yang baik.[8]
Lahirnya UU KIP yang disahkan DPR pada 3 April 2008 dan kemudian diundangkan pemerintah 30 April 2008 telah menorehkan Indonesia sebagai negara ke-5 di Asia dan ke-76 di dunia yang secara resmi mengadopsi prinsip-prinsip keterbukaan informasi. Menurut Sudibyo (2008) proses pembahasan UU KIP ini sendiri merupakan rekor tersendiri dalam sejarah legislasi di Indonesia. UU KIP yang pada mulanya bernama RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (KMIP) telah menjadi agenda pembahasan di DPR sejak tahun 2000. UU KIP baru berhasil diselesaikan delapan tahun kemudian setelah sempat melewati pergantian pemerintahan tahun 2004.[9]
Rentang waktu yang panjang dan proses legislasi yang berliku-liku dalam pembahasan UU KIP ini menyebabkan berbagai kepentingan politik harus dikompromikan. Salah satu titik kompromi yang dinilai paling kontroversial adalah Pasal 51 mengenai ancaman kriminalisasi terhadap pengguna informasi publik.[10] Koalisi untuk Kebebasan Informasi menilai bahwa UU KIP seharusnya hanya meregulasi akses informasi publik, bukan penggunaan informasi publik. Karenanya menjadi tidak lazim adanya kriminalisasi terhadap penggunaan informasi publik. Kriminalisasi hanya lazim untuk tindakan-tindakan menutup atau merusak akses informasi publik dan tindakan membuka informasi yang dikecualikan secara ilegal.[11]
Selain pasal ini tentu masih banyak titik krusial lainnya yang masih menyimpan potensi ketidakpuasan beberapa pihak sehingga memunculkan desakan untuk melakukan judicial review. Namun begitu, lepas dari berbagai kontroversi itu, nyaris tak ada yang menyangkal bahwa UU KIP merupakan produk legislasi yang penting. UU KIP bahkan dinilai banyak pihak sebagai undang-undang pertama yang tidak hanya menjamin hak publik atas informasi, tapi juga secara komprehensif mengatur kewajiban badan/lembaga publik untuk memberikan akses informasiberikut sanksi-sanksinya bila itu tidak dipenuhi.
Karena itu, sampai pada titik ini perlu ada semangat bersama para pihak untuk menerima dan melaksanakan UU KIP –yang merupakan hasil kompromi maksimal saat ini– secara bijaksana. Namun semangat ini juga jangan menapikan kesadaran bahwa undang-undang ini bukan merupakan produk hukum yang sempurna. Dengan begitu, Komisi Informasi harus memilih visi moderat yang senantiasa komit menjalankan berbagai kompromi yang telah disepakati seraya tetap membuka ruang yang luas bagi munculnya kompromi-kompromi baru yang lebih ideal dan visible.
Berbarengan dengan upaya itu, Komisi Informasi juga punya kewajiban untuk mendidik selera publik –dan terutama badan-badan publik– agar dapat mengapresiasiprinsip-prinsip keterbukaan informasi publik secara memadai. Dalam kaitan ini, Justive Initiative menyebutkan sepuluh prinsip yang merupakan standar internasional akses informasi bagaimana para pihak, terutama pemerintah harus menghormati hak itu dalam undang-undang dan dalam prakteknya.[12] Kesepuluh prinsip itu adalah: 1) Akses informasi merupakan hak setiap individu; 2) Akses informasi merupakan kelaziman sementara kerahasiahan merupakan kekecualian; 3) Hak akses informasi berlaku terhadap semua badan publik; 4) Permintaan informasi harus dibuat sederhana, cepat, dan bebas biaya; 5) Pejabat wajib membantu pemohon; 6) Penolakan memberikan informasi harus dengan alasan yang dibenarkan; 7) Kepentingan publik harus diletakan di atas kepentingan merahasiahkan informasi; 8) Setiap orang punya hak mengajukan permohonan banding atas keputusan yang merugikannya; 9) Badan publik harus proaktif memberikan informasi; dan 10) Hak memperoleh informasi harus dijamin oleh suatu badan yang independen.
Pasal 23 UU KIP menyebutkan bahwa Komisi Informasi adalah lembaga mandiri yang berfungsi menjalankan undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya serta menetapkan petunjuk teknis standar layanan informasi publik dan menyelesaikan sengketa informasi publik melalui mediasi dan/ atau ajudiksi non-ligitasi. Adapun Pasal 26 menyatakan tugasKomisi Informasi meliputi: a) menerima, memeriksa, dan memutus permohonan penyelesaian sengketa informasi publik melalui mediasi dan/atau ajudiksi non-ligitasi yang diajukan oleh setiap pemohon informasi publik berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini; b) menetapkan kebijakan umum pelayanan informasi publik, dan c) menetapkan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis.
Selanjutnya, Pasal 27 UU KIP menyebutkan bahwa dalam menjalankan tugasnya, Komisi Informasi memiliki wewenang, yaitu: a)memanggil dan/ atau mempertemukan para pihak yang bersengketa; b) meminta catatan atau bahan yang relevan yang dimiliki badan publik terkait untuk mengambil keputusan dalam upaya menyelesaikan sengketa informasi publik; c) meminta keterangan atau menghadirkan pejabat badan publik ataupun pihak yang terkait sebagai saksi dalam penyelesaian sengketa informasi publik; d) mengambil sumpah setiap saksi yang didengar keterangannya dalam ajudiksi non-ligitasi penyelesaian sengketa informasi publik; dan e) membuat kode etik yang diumumkan kepada publik sehingga masyarakat dapat menilai kinerja Komisi Informasi.
Dengan mengacu pada pasal-pasal tersebut maka posisi Komisi Informasi lebih merupakan lembaga intermediary yang keberadaannya diharapkan mampu menjembatani kepentingan publik dan badan-badan publik dalam hubungannya dengan akses informasi publik. Secara illustratif hal ini dapat divisualisasikan pada gambar berikut.
Meskipun UU KIP telah merumuskan ragam kategori informasi secara baku[13], namun tidak serta merta akan menihilkan kemungkinan multi-tafsir atasnya. Dengan begitu, munculnya konflik dan sengketa antara publik dan badan publik menjadi sesuatu yang tak terelakkan.[14] Dalam konteks ini, Komisi Informasi sebagai lembaga intermediary harus mampu memosisikan dirinya sebagai ‘wasit’ yang adil. Sebagai lembaga independen yang menjalankan imperatif undang-undang, Komisi Informasi harus berada di posisi ‘tengah’ yang netral.Komisi Informasi perlu memastikan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip demokrasi, seperti transparansi, akuntabilitas, dan semangat egalitarian.
Dalam konteks governability, Komisi Informasi sebagai aparatus pelaksana UU KIP tentu harus pro-aktif mengupayakan tersingkapnya informasi secara objektif atas kasus-kasus krusial sekaligus stategis. Upaya ini tentu bukan saja akan memberikan kejelasan informasi pada publik atas suatu kasus, namun sekaligus turut membantu memberikan pilihan langkah yang jelas bagi pemerintah dalam mengambil suatu kebijakan secara adil dan transparan.