Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Melawan Korupsi?

15 Juni 2011   12:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:29 369 0

Pemberantasan korupsi merupakan idiom yang paling sering diucapkan pascareformasi bergulir di tanah air. Sanggupkah rezim SBY menggusur para koruptor atau malah sebaliknya ?

2 Mei 2005 merupakan momentum penting dalam sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia. Setelah sekian lama komitmen dan kesungguhan pemerintah disangsikan dan dicibir, SBY menunjukkan tekad yang serius untuk melakukan pemberantasan korupsi. Komitmen SBY ini ditunjukkan dengan pembentukan Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtastipikor) melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 11 Tahun 2005 yang ditandatanganinya 2 Mei 2005. "Ini tugas berat, tidak ringan, tetapi mulia. Pertanggungjawabkan kehormatan dan kepercayaan ini kepada negara, pemerintah dan rakyat. Pemberantasan korupsi merupakan prioritas dan agenda penting negara kita" ujar SBY dalam penggalan amanatnya ketika melantik Timtastipikor.

Banyak pihak menilai gebrakan SBY sebagai langkah positif. “Kebijakan baru itu harus diakui jauh lebih konkret dan terukur dari kebijakaan sebelumnya. Karena itu, harus diapresiasi positif oleh semua pihak,” ujar Koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW), Teten Masduki. Menurut Teten, meskipun tidak seekstrim Lee Kuan Yew, yang menyiapkan peti mati koruptor bagi dirinya sendiri, ajakan cleaning house policy yang dilakukan SBY patut dipuji.

Senada dengan itu, aktivis Bandung Institute of Governance Studies (BIGS) Dedi Haryadi menyatakan bahwa kebijakan baru yang ditempuh SBY cukup strategi. “Ini sudah lebih riil dan i’tikadnya lebih bagus, tidak sekadar retorika sehingga cukup membersitkan harapan positif bagi upaya pemberantasan korupsi ke depan,” ujarnya. Sayangnya, menurut Dedi, gebrakan SBY ini tidak diikuti Pemda, DPRD dan institusi lain di bawahnya. Padahal, untuk pemberantasan korupsi tidak cukup dilakukan oleh kalangan eksekutif semata, tapi juga pihak lain seperti legislatif, yudikatif, kalangan masyarakat seperti LSM, lembaga agama dan kalangan masyarakat lainnya harus diajak bahu-membahu secara kompak.

Koordinator Forum Peduli Sumatera Barat, Saldi Isra juga menyayangkan tim bentukan SBY tersebut tidak mengakomodasi dan kurang melibatkan banyak pihak. “Tidak ada yang istimewa. Mereka yang terlibat adalah mereka-mereka yang sejak dulu memang seharusnya bertugas untuk itu,”, ujarnya. Tak heran jika ia agak pesimis dengan efektifitas Timtastipikor itu. Menurutnya, upaya pemberantasan korupsi melalui pembuatan tim seperti itu bukanlah fenomena baru, namun telah ada sejak zaman Orde Lama. Namun berbagai kebijakan yang ditempuh Soekarno gagal untuk mengatasi disintegrasi administrasi kenegaraan. Perekonomian tetap tergantung pada birokrasi partai-partai politik dan militer. Aparat negara tak bekerja dengan baik dan korupsi semakin merajalela.

Hal yang sama juga terjadi pada masa Orde Baru. Aktivis HAM, Asmara Nababan punya kenangan semasa menjadi aktivis muda sekitar tahun 1970-an. Bersama Sjahrir, Akbar Tandjung, Chaidir Makarim, dan Julis Usman, mereka menghadap Presiden untuk menuntut pemberantasan korupsi. Ketika itu Soeharto menyatakan dengan tandas bahwa dirinya akan memimpin langsung pemberantasan korupsi. Pernyataan Soeharto, bahkan, tidak sebatas “gertak sambal” secara verbal. Ia kemudian meluncurkan UU No.11/1980 tentang Antisuap. Lantas mengkampanyekan Gerakan Pengawasan Melekat (Waskat). Namun apa yang terjadi ? Nyatanya, yang diawasi dan yang mengawasi terus “melekat” dan Orde Baru terjerembab menjadi “Orde Korupsi”.

Periode Presiden BJ. Habibie juga cukup fenomenal. Selama masa pemerintahannya, BJ. Habibie getol mengumbar janji untuk melakukan pemberantasan korupsi. Setidaknya, ada delapan produk hukum pada masa BJ. Habibie yang dirancang untuk menjaring para koruptor (lihat tabel), namun tak satu pun yang menuai hasil. Pemerintah BJ. Habibie justeru ‘berhasil’ menghentikan penyelidikan pengusutan KKN Soeharto dan kroninya. Prestasi buruk BJ. Habibie malah bertambah dengan munculnya kasus suap Jaksa Agung Andi Ghalib dan kasus Bank Bali pada awal Agustus 1999.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun