Panjang komat-komitnya itu. Matanya sering dipejam-pejamkan. Lalu... jreng, jreng, jreng. Bukan petikan bermelodi atau genjrengan berirama. Seperti asal genjreng, dan monoton. Dan selama jrang-jreng itu, tetap tak ada suara dari mulutnya yang terus komat-kamit seolah-olah tengah bernyanyi. Kami, para penumpang, tak pernah tahu lagu apa yang dia mainkan. Mungkin sama dengan lagu wajib para pengamen lainnya. Ya, macam ''Kehilangan'' dari Firman, atau tembang ciptaan para pengamen yang liriknya mirip balada apologis; ''Kula ngamen namung adol swara, luwih becik ketimbang kerja ala''.
''Penyanyi tanpa nyanyian''. Aneh? Tak selalu. Mungkin dia bisu, mungkin juga tidak. Saya tak pernah mendengar satu vokal pun dari mulutnya. Dari orang bisu kadang masih bisa kita dengar suaranya meski hanya ah-uh saja. Kalau dia benar-benar bisu, baiklah kita sebut saja dia ''si bisu yang bernyanyi''. Ini bisa mengingatkan kita pada Charlie Chaplin semasa film bisu. Bedanya barangkali, aksi konyol lelaki berkumis Hitler itu bisa menggugah tawa, namun mimik memelas pengamen kita itu menggugah belas kasih.
Ketika dia akan mengakhiri aksinya, ukulelenya dia cangking, dan mulutnya kembali bergerak-gerak tanpa satu bunyi pun terdengar. Itu pasti ''khotbah penghabisan'', ritus yang dilakukan hampir semua pengamen sebelum bergerak menyorongkan tempat uang.