Raja Terakhir di Sumatera yang tidak mau takluk kepada Belanda
(Seperti yang dituturkan oleh Jawasman Purba alias Asang dari Sondiraya, Kabupaten Simalungun, Sumut)
Hanya Kerajaan Raya yang tidak dapat ditaklukkan oleh Pemerintahan Kolonial Belanda semasa pemerintahan Tuan Rondahaim (1928-1891), gelar Tuan Namabajan. Raja dengan ribuan tentara ini menghadang Belanda sampai ke Bedagei, membakar Perkebunan Belanda yang waktu itu direncanakan akan diperluas sampai daerah dataran Tinggi Simalungun. Rondahaim bertekad mengusir Belanda dengan memusuhi semua yang berbau penjajahan, termasuk industri perkebunan yang sedang marak di beberapa Kerajaan Melayu dan Simalungun.
Waktu Belanda memasukui Rayakahean, Rondahaim mengadangnya dengan menebang pohon besar yang melintang di Dolog (Gunung) Simarsopah, dekat Desa Bahpasunsang sekarang. Sampai sekarang tempat itu dikenal orang dengan nama Pangolatan (tempat mengadang /Belanda).
Kerajaan Panei, Siantar, Tanoh Jawa, Dolog Silou dan Purba sudah takluk duluan, tetapi Belanda tidak mampu masuk ke Kerajaan Raya dibawah Raja atau Tuan Rondahaim. Baru 1901, 10 tahun sesudah Rondahaim wafat, Belanda masuk ke Raya dan melakukan perundingan atau negosiasi dengan Tuan Sumayan (Raja Tua), anak Tuan Rodahaim, yang berakhir dengan pendandatanganan Korte Verklaring 1907, di mana Kerajaan Raya dipaksa menandatangani pengakuan hegomoni Ratu Wilhelmina di tanah Raya. Penanggalan 1901 itu dituturkan oleh ibu dari ibu (nenek) saya, isteri dari Tuan Sumayan, yang diketahui lahir pada tahun itu, pada waktu Belanda pertama kali masuk ke tanah Raya ini, kata Asang dengan yakin.
Demikian penuturan Asang, yang sudah berumur 78 tahun itu. Pikirannya masih terang, ingatannya tidak ada yamg hilang, terutama untuk cerita tempo doeloe. Ribuan tentara Rondahaim dipensiunkan sepeninggal Raja yang terkenal bengis untuk kebenaran dan peraturan itu. Tentaranya yang pensiun kemudian disuruh kawin dan berladang, dikumpulkan di Daligraya (dalig = benjolan penyokong agar pohon besar berdiri kokoh, bendungan untuk pertahanan). Panglima-panglima yang dipensiunkan itu ada bermarga Sumbayak dan Damanik, yang semua puanglima (sekarang disebut panglima) pemberani, pantang menyerah.
Semua itu dituturkan turun temurun oleh nenek kami Purba Sigumonrong, Anakboru Raya, yang mendampingi Raja Raya selama 15 generasi. Selama itu pula Sigumonrong ini menjadi keponakan dan ipar Raja Raya, turun temurun, sehingga sudah menyatu dan tidak bisa dipisahkan dari kekeluargaan dan sistem kekuasaan kerajaan Raya. Meriam Rondahaim yang diantarkan oleh Jorbaik Sigumonrong ke Bedagai itu, mampu menembak sampai ke pantai laut Bedagai waktu itu.
Lantas mengapa Rondahaim dijuluki Tuan Raya Namabajan (bajan=jelek, bengis) atau Tuan Na Mabisang (bisang=kasar, kejam). Kata Asang itu karena dia tidak mau tawar menawar menghukum yang bersalah. Kalau ada yang berbuat jahat, misalnya membunuh orang, disidangkan oleh gamot (semacam Menteri Kabinet) Kerajaan Raya dan raja menyuruh eksekusi dengan hukuman tembak mati. Karena itulah di Kerajaan Raya ada tempat yang disebut Nakka Pamunuhan (di bawah pohon nangka tempat eksekusi narapidana), yaitu di desa Rayabayu sekarang.
Pengingkaran pada kesepakatan antar pihak juga dihukum, termasuk pada adat perkawinan. Seorang gadis yang ingkar janji kupingya dipotong. Itu sudah ada aturannya pada masa pemerintahan Rondahaim.
Semua ini pernah diceritakan Jaulung Wismar Saragih Sumbayak, salah satu cucu dari Panglima Rondahaim, dalam bahasa Simalungun pada awal abad ke 20 dan diterjemahkan oleh Mansen Purba ke dalam Bahasa Indonesia. Juga Belanda mencatat keperkasaan Tuan (gelar Raja di Simalungun, seperti Tuanku di Aceh, Tengku di Kerajaan Melayu) Rondahaim ini dengan menjulukinya sebagai Napoleon der Batak.
Ketika ditanya mengapa Tuan Rondahaim melakukan peperangan atau penyerbuan terhadap kerjaan Panei, Sidamanik dan Purba, seperti diceritakan dalam penuturan Jaulung Wismar Saragih itu, Asang berpendapat bahwa semua kerajaan yang tidak mengakui Kerajaan Raya diserangnya. Mungkin ada kaitannya dengan perbedaan sikap menghadapi Belanda. Karena Tuan Dolog (Kerajaan Dologsilou) sudah ditaklukkan Belanda waktu pemerintahan Rondahaim. Perkebunan Belanda sudah mulai masuk ke daerah Simalungun lainnya seperti ke Kerajaan Tanah Jawa, Kerajaan Santar, termasuk di daerah kekuasaan Tuan Bandar dan Tuan Sdamanik. Kerajaan tetangga yang ditaklukkan itu biasanya berakibat ditahannya serdadu mereka yang kemudian dijadikan jadi budak di Kerajaan Raya. Baru pada tahun 1906, semua perbudakan dihapuskan karena waktu itu perbudakan mulai diakhiri di seluruh muka bumi, termasuk di Eropa dan Amerika.
Beberapa peperangan yang diceritakan adalah Perang Tambun Raya (sering disebut Tambunrea) dengan Kerajaan Panei. Ada masalah keluarga dan perbatasan dengan Panei yang diakhiri dengan menetapkan sungai Bah Kuou sebagai batas, yaitu pada kesepakatan yang terkenal disebut Panei Bosi yang artefaknya masih dapat dilihat di Amanraya, Kecamatan Raya Kabupaten Simalungun.
Dari beberapa kerajaan di daerah ini hanya Kerajaan Raya yang pada masa Rondahaim memiliki tentara yang kuat. Karena itu Kerajaan Dologsilau diserbu Belanda dan langsung diduduki. Kerajaan Purba tidak memiliki soridadu (=serdadu) lagi waktu itu, karena itu waktu Belanda datang tidak ada perlawanan sama sekali.
Sampai sekarang nama Rondahaim dikenang di kawasan kerajaan marpitu di daerah yang sekarang menjadi Kabupaten Smalungun, maupun di kerajaan tetangganya seperi di Bedagei. Cerita turun temurun ini menjadi cerita rakyat di kawasan ini.
(Diceritakan kembali oleh Dr Sarmedi Purba)