Diujung kegelisahannya, Marini berusaha menenangkan gejolak yang terus berkecamuk akibat peristiwa sore itu. Pada waktu itu ia hampir saja kehilangan dompetnya, untung ada seseorang tak dikenal yang menyelamatkannya. Ia melihat seseorang itu bagai Robin Hood, ia tak tahu namanya apalagi alamatnya. Karena, ketika ia akan memberikan uang untuk orang yang baru dikenalnya itu, Sang Robin Hood mendadak pergi. Lenyap bersama hilangnya cahya mentari.
Selang beberapa jam kemudian sampailah Marini ke kosannya, ia masih trauma akan peristiwa itu. Untung saja ada yang menolong. Kalau tidak, jangan-jangan ia tak bisa pulang. Tak mungkin seorang wanita jalan kaki sendirian. Kalau Orang Jawa bilangnya pamali, nggak boleh ditiru, ora ilok. Diletakkanlah tas yang membebani punggungnya itu, iapun menengok ke luar. Apakah kamar mandi sebelah sedang dipakai? Batinnya saat itu. Ternyata, tak ada satupun kamar mandi yang kosong, terpaksalah ia menunggu sembari menghilangkan trauma yang menderanya.
Ia menangis batin, seandainya tak ada pemuda itu pastilah tak selamat. Bahkan nyawanya hampir saja terenggut. Maklum, pencuri itu membawa sebilah pisau tajam. Dengan sekali tebas, hidupnya pun berakhir. Sebagai Mahasiswi Baru, tentunya hal itu begitu traumatik. Ia tak menginginkan kejadian serupa terulang besuk, lusa, atau seterusnya. Dalam renungannya iapun kepikiran dengan pemuda tampan tadi, kok mau-maunya ya menolong. Padahal ia hampir saja terlindas ban mobil gegara menyelamatkan Marini. Tapi lupakan sajalah, begitu pikirnya.Toh hidup seseorang sudah diskenariokan. Manusia tak berhak protes, apalagi menggugat, lebih-lebih mengutuk. Bersyukurlah karena ia tak mati, tak mengakhiri impiannya untuk menjadi sarjana. Sarjana untuk menyelamatkan keterbelakangan di kampungnya.
Sekian dulu ya mas/mbak.
Pusing ngelanjutin ceritanya.