Hari ini aku izin untuk pulang lebih awal ke atasan di tempatku bekerja. Beruntung perempuan yang memiliki posisi lebih tinggi di perusahaan tempatku mencari penghidupan mengizinkan tanpa banyak bertanya lebih jauh.
Sepuluh hari terakhir Ramadhan seharusnya membuatku lebih semangat untuk menjemput malam Lailatul Qadar, bukan sebaliknya. Namun, hati sedang tak bisa diajak sejalan untuk bisa merelakan jalan takdirku dengan perempuan anak Pak Ustadz itu. Aku melangkahkan kaki di rumah ketika Emak sedang memotong ubi menjadi bentuk dadu-dadu kecil.
"Assalamu'alaikum. Mak, Jul pulang," kataku.
Emak menjawab salam lalu melepas genggamannya dari pisau buah itu dan tersenyum ke arahku. Aku mencium tangannya dengan takzim.
"Tumbenan Elu pulang cepet, Jul? Kagak enak badan Lu?"
"Iye, Mak. Jul kagak enak badan," aku hanya mengiyakannya meski hati membantah. Bukan karena tak enak badan, tetapi pikiranku sedang tak sejalan.
Emak kembali meneruskan aktivitasnya yang sempat terhenti. Aku duduk di lantai, bersandar di bangku kayu buatan Bapak semasa hidup.
"Mak, kita tengokin Bapak yuk!" kataku, menatap Emak yang kemudian melepaskan pisau buahnya.
"Emak siap-siap dulu ye, Jul." Aku mengangguk. Emak segera beranjak ke kamar dan kembali dengan kerudung berwarna biru dan gamis berwarna senada.
"Yuk, Jul!"
Aku tersenyum. Membenak wajah Bapak juga sedang tersenyum.
***
Bunga kamboja tumbuh di samping tanah dengan nisan kayu yang tulisannya mulai memudar itu. Tanganku terulur mengusap kayu bertuliskan nama Nadi bin Mistra yang mulai memudar.
"Rasanya baru kemarin Bapak pergi ye, Jul. Nggak kerasa udah delapan bulanan." Emak berbicara tanpa menatapku. Aku bisa merasakan kesedihan dalam suara seraknya.
"Iye, Mak. Sekarang rumah rasanya sepi ye Mak?" aku menatap Emak lekat.
Emak memandang ke arahku. "Makanye Jul cepet cari bini. Emak pengen ngemong cucu nih!"
Ah, aku salah bicara.
#MY, 20 Ramadhan 1444 H