Terik di luar ruangan mampu membuat rumput mengering. Debu diterbangkan udara panas yang terus bergerak hingga pendingin di ruangan tak memberikan hawa sejuk sama sekali. Koran di tanganku bergerak naik dan turun beriringan untuk mengalirkan udara sejuk ke wajah.
"Kenapa kau Jul? Masih kuat puasa 'kan?" Sam datang dengan ember dan kain pel.
"Iya, Bang. InsyaAllah. Tapi panas banget ini, Bang." Aku menunjuk seragamku yang basah karena keringat.
"Sabar, Jul. Pahala puasamu bisa dilipatgandakan," katanya.
"Aamiin." Aku mulai merasakan perutku melilit.
"Hari ini mau ikut melipatgandakan uang lagi, nggak?" Dia menaikkan sebelah alisnya.
Aku menggeleng sebagai jawaban. "Maaf, Bang. Aku ada janji."
"Oke lah. Besok pun tak apa lah. Lumayan, omzet naik karena kau ikut kemarin," katanya disertai tawa.
Aku terkekeh. Sam memang pandai mengambil hati.
***
Sepulang bekerja, aku sengaja singgah ke penjual martabak gerobak dan memesan martabak telur kesukaan Emak. Ada rasa haru dan bangga karena bisa membelikan Emak sesuatu dari hasil kerja kerasku.
Aku melanjutkan perjalanan menuju rumah dengan berjalan kaki. Menikmati lalu-lalang kendaraan dan orang-orang yang duduk di teras rumah mereka.
Azan magrib berkumandang ketika aku menjejak kaki di teras rumah. Meja tempat Emak menjual kolak ubi telah berpindah tempat. Aku mengucap syukur dalam hati.
"Assalamu'alaikum, Mak. Jul pulang," kataku.
"Wa'alaikumussalam," suara dari balik pintu terdengar samar.
Pintu dibuka, wajah Emak muncul dengan senyum manisnya. Aku mencium tangannya dengan takzim.
"Masuk, Jul. Batalin puasa dulu, udah maghrib." Aku mengangguk, mengikuti langkah Emak. Segelas teh, teko berisi air dan kolak ubi tersedia di atas karpet berwarna hijau.
"Buka puasa dulu Jul, nanti kita sholat maghrib berjama'ah ye," kata Emak.
"Iye, Mak."
Sambil menyesap teh, aku mendengar Emak menghabiskan lima ratus kata untuk menceritakan bagaimana dagangannya hari ini.
"Alhamdulillah," aku mengambil segelas air, memuaskan dahaga hingga habis seluruhnya.
"Ya udah yuk sholat maghrib, Jul. Elu jadi imam ye," kata Emak.
"Iye, Mak. Jul wudhu dulu," kataku.
Emak mengangguk. Aku bisa melihat sorot matanya berubah sendu.
"Yuk, Mak. Kita jama'ah," kataku usai membersihkan hadats kecil dengan berwudhu.
Emak yang telah mengenakan mukena hanya mengangguk. Senyum Emak mengembang. Aku menggelar sajadah di sisi kanan atas sajadah Emak.
"Alhamdulillah ye Jul, Emak masih bisa ngerasain sholat jama'ah bareng Elu. Itu rezeki yang selama ini nggak Emak syukuri."
Ah, Emak. Aku merasa tertampar karena selama ini menganggap rezeki selalu dalam bentuk uang. Nyatanya, masih bisa melakukan ibadah bersama Emak adalah rezeki yang tak terduga.
#MY, 7 Ramadhan 1444 H