Usai sambungan telepon terputus, gadis bernama Jeha Alexandra itu hendak berbalik menuju ruang pertemuan mereka. Namun, ketika pandangannya bertemu Rein gadis itu berjingkat dan mengurungkan niat untuk melangkah. Dia mengangguk dengan kaku ke arah Rein.
Rein memasukkan tangan ke saku celananya, melangkah dengan kaki jenjangnya untuk memperpendek jarak antara mereka.
"Kamu berhenti tumbuh dan saya suka," katanya dengan mencondongkan wajah tepat di depan gadis itu.
Jeha berdeham sebelum mengubah ekspresi wajahnya yang sempat terkejut menjadi datar.
"Dua jam lagi dua orang model tambahan akan tiba di sini, Pak Rein," katanya.
"Dua jam? Lama sekali. Waktu yang cukup untuk kita minum kopi di kantin sambil membahas konsep yang kamu jelaskan tadi. Kamu mau?" kata Rein tepat di depan wajah gadis itu, membuat gadis itu harus mengatur napas senormal mungkin karena di balik punggung Rein dia bisa melihat aura cemburu dari tatapan mata Keenan yang sudah berdiri di depan pintu kaca ruangan itu.
"Sa-saya harus berbicara konsep foto dengan Pak Keenan, Pak Rein. Permisi," gadis itu melangkah dengan cepat melewati Rein yang menyeringai ketika melihat gadis itu menggamit lengan Keenan dan melangkah ke dalam ruangan.
"Kita coffee break dulu ya gengs, setelah itu kita bisa mulai take foto sekaligus video," kata gadis itu pada Anas dan Sheila.
Kedua orang itu beranjak dari kursi mereka dan melangkah ke luar ruangan. Jeha bisa merasakan aura ruangan itu berubah ketika teman satu timnya berlalu. Dia melirik lelaki berkacamata bulat yang sudah duduk di seberangnya, masih menatapnya --atau menatap dia dan Keenan-- dengan tak biasa.
"Keenan, sebaiknya kita persiapkan studio dulu biar nanti pas model dateng, kita bisa langsung take," kata gadis itu.
Lelaki berkacamata bulat itu berdeham, "saya akan mengecek peralatan, Pak Keenan. Bapak bisa menyusul nanti."
"Terima kasih, Pak Rein," kata lelaki itu.
"San, jelasin ke aku. Kamu kenal sama Rein? Sejak kapan? Kamu selingkuh sama dia?" cecar Keenan.
Kedua tangan Keenan menyentuh bahu gadis itu. Sekilas ekor matanya melirik sekeliling, memastikan ruangan itu hanya ada dia dengan gadis itu, gadisnya.
Jeha tertawa sumbang. "Oke, aku jujur. Secara pribadi, aku kenal dia lebih dulu. Tapi, aku nggak tahu kalau dia megang project ini. Dan aku di sini buat kerja. Kamu tahu aku profesional 'kan?"
Keenan masih diam di posisinya. Jeha menarik wajah lelaki itu menghadapnya. Dia menatap mata cokelat lelaki itu dengan lembut.
"Sayang, jangan bilang kamu cemburu," katanya.
Lelaki itu mendesah. Dia menempelkan hidungnya ke wajah gadis itu. "Aku percaya sama kamu. Aku cuma merasa tersaingi."
Jeha tertawa sekali lagi. "Aku cintanya sama kamu, Keenan. Tahun depan kita nikah sesuai rencana 'kan?"
Keenan mengangguk. Dia meraih tangan gadis itu, meninggalkan jejak bibirnya dengan lembut di sana. Kecupan lembut Keenan membuat gadis itu merasa pendingin ruangan tak berfungsi untuk dirinya saat itu.