Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Jubah Hitam Seorang Janda (4)

23 November 2021   11:50 Diperbarui: 23 November 2021   13:45 179 7
Rabina membawa Maryam ke kantornya. Dia mempersilakan tamu yang juga teman satu kampung halamannya duduk di kursi yang berada di sisi jendela.

Dua cangkir teh terhidang di meja kayu dilapisi taplak meja hasil rajutannya dengan anak-anak remaja Panti. Sejak duduk di kursi itu, tatapan Maryam tak beralih dari gadis kecil berbaju orange motif bunga-bunga yang sedang bermain dengan anak-anak Panti lainnya.

"Maryam," Rabina mencoba memanggil perempuan di depannya. Tak ada sahutan.

"Maryam," kali ini suara Rabina lebih kencang dari sebelumnya.

Tatapan perempuan itu seketika beralih padanya. "Ya?"

Rabina mengerti ada yang tengah dipikirkan perempuan itu.

"Maafkan aku, Na," Maryam mengucapkannya sambil memandang ke luar jendela.

"Tidak apa-apa. Jadi, Kamu tertarik pada gadis kecil itu?" Rabina bertanya hati-hati.

Maryam meraih cangkir tehnya, menyesapnya sedikit. Pandangannya kembali terarah ke luar jendela.

"Ya. Aku ingin tahu lebih banyak tentang gadis kecil itu."

Rabina menyilangkan sebelah kakinya. "Namanya Mentari. Kami menemukannya ketika sedang berbelanja ke pasar. Dia tidur di emperan toko. Saat kutanya, dia sama sekali tak menjawab. Tapi ketika aku mengajaknya ke Panti, gadis kecil itu tak menolak. Aku pernah membawanya ke dokter untuk diperiksa."

"Apa kata dokter?" Maryam memotong kalimat Rabina. Seketika perempuan bercadar itu meralat ucapannya, "maaf."

"Dokter bilang dia sehat. Hanya saja dokter mengatakan dia mengalami tuli sensorineural."

"Apa masalahnya serius?" Rabina menatap wajah Rabina.

"Aku harap tidak. Tapi dia harus tetap melakukan pengobatan."

"Aku harap dia bisa sembuh." Suara Maryam terdengar sendu.

"Ya. Semoga."

Rabina menyadari harus segera berganti topik pembicaraan. "Aku juga berharap kamu segera bertemu Ais."

"Aamiin," Maryam tersenyum di balik cadarnya. "Terima kasih, Na."

***

Hati Maryam menghangat ketika dia melihat anak-anak Panti Asuhan Harapan Bunda menyantap makan siang bersama. Dia melupakan kenangan buruk tentang Hafiz dan mengobati kerinduannya pada Aisyah meski sesaat.

Usai menyisihkan piring bekas makan dan mengelap mulutnya dengan tisu, Rabina bertepuk tangan tiga kali. Semua pandangan tertuju ke arahnya. "Kita selesai makan siang. Jangan lupa bersyukur kepada Tuhan karena telah memberi kita kenikmatan sampai saat ini. Yuk, kakak-kakak, setelah ini bimbing adik-adiknya untuk tidur siang ya ..."

Beberapa remaja Panti mulai memimpin anak-anak yang berusia lebih muda untuk menuju kamar, sedangkan remaja lainnya membantu Rabina mencuci piring bekas makan. Maryam turut membawa piring bekas makan ke tempat cuci piring.

"Kamu nggak perlu repot-repot, Mar." Sambil mencuci piring, Rabina melirik perempuan itu.

"Nggak apa-apa, Na. Aku senang. Sebentar lagi aku pulang."

Rabina tak menyahut. Mereka melanjutkan pekerjaan rumah dalam diam.

***

Maryam kembali ke rumah ketika azan asar berkumandang. Dadanya kembali sesak ketika menutup pintu dari dunia luar. Seolah rumah adalah dunia paling sunyi saat ini dan dia tak ingin berada di dalamnya.

Dia sengaja sampai di rumah sebelum asar, agar bisa melaksanakan salat asar di rumah. Mengadu dan bersandar hanya pada satu-satunya harapan.

'Ya Allah,  pertemukan aku dengan Aisyah, permata hatiku. Kumpulkanlah mendiang suamiku bersama orang-orang shalih.' Maryam meminta dengan keadaan paling hening, dalam bisik sujudnya.

Perempuan berusia awal tiga puluh itu mendengar ponselnya berbunyi ketika dia melipat mukena. Dia menyambut panggilan telepon itu.

"Mike, ada apa? "

" Kabar gembira. Ada titik terang. "

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun