Seperti malam kemarin, sekelompok manusia duduk di atasku. Mereka berbincang tentang rencana demi rencana menggunakan tubuhku sebagai alat keruk uang. Dari tingkat RT hingga antar planet atau lintas galaksi.
"Lumayan jumlah uang yang dijanjikan pemerintah daerah untuk pentas kita nanti." Lelaki berambut gondrong itu mengelus telinga kirinya dengan wajah tak bersalah.
"Aku tidak peduli dengan berapa banyak besaran dana yang digelontorkan. Bagi aku, lebih penting budaya tidak dicabut dari  akarnya," timpal seorang perempuan gempal yang bermulut lebar.
"Sudahlah, kali ini kita turuti saja kemauan yang membayar kita!" sergah lelaki burung hantu itu lagi, diikuti para beo bermata hijau, membayangkan lembar  kertas merah yang segera menghuni saku celana mereka yang sebulan tak dicuci.
Mereka adalah pelakon-pelakon yang pernah akrab menyetubuhi tubuhku dengan cinta. Namun, masa sudah tidak lagi berpihak padaku. Kala dunia dalam kotak kaca mengalihkan pandangan manusia dariku.b
Pelakon yang dulu mencintaiku dengan sepenuh jiwa, kini berselingkuh dengan penguasa demi upah yang katanya menggeret sembilan angka nol di belakang angka utama.Â