"Kutang kok ra ana sing penak dinggo!" gerutunya.
"Bukan salahku, Nyonya! Salahkan lemak yang menggumpal pada setiap lekuk tubuhmu," bisikku.
Nyonya Sari memang bertubuh gempal, ukuranku tak kan mampu menahan besaran susu yang dia bawa. Jangankan aku yang terbilang tiga puluh delapan, saudara tua empat puluh dua pun tak sanggup.
Aku hanya alat untuk melampiaskan kekesalannya saja. Mengenakanku bukan untuk mematut diri, tapi agar tak terlihat terlalu seksi.
Apa salahku jika kemudian Roni mengenakanku?
 Mengapa nyonya mencabik bagai singa menahan birahi?
"Dasar lelaki ganteng presto, tulang lunak! Nggak sekalian cawatku kau pakai?" makinya pada lelaki yang punya senyum semanis pare.
Aku hanyalah kutang berwarna merah jambu, yang ternoda di antara perempuan wagu dan lelaki ambigu.