Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

[KSA] Arafah

6 Juli 2019   20:42 Diperbarui: 6 Juli 2019   20:55 14 0
Aku berdiri, memandang gelombang manusia. Tak mampu, keangkuhanku dipaksa tundukkan wajah.

Luluh lantak segala kepongahan. Mengakui kelemahan. Aku bagai buih di tengah lautan, tanpa arti.

Malu, tiada arti harta benda dan jabatan. Semua tampak hina ibarat sampah dunia.

Sembilan Dzulhijjah, di padang Arafah wujud cinta pada Sang Esa tergelar. Lautan air mata tumpah ruah, puncak ibadah haji bermuara.

"Labbaik allahuma labaik!" terjawab sudah panggilan rindu. Bertahun menanti letakkan kaki di tanah suci.

Tergugu dalam rumah-Mu, memohon ampunan untuk segala khilaf dan dosaku. Sungguh, aku ingin pengampunan-Mu.

Dalam balut baju ihram, aku tundukkan hati. Memohon ridho Mu. Tak mampu aku membendung embun yang menggantung di kelopak mata.
 
Bersimpuh di bawah kaki-Mu. Selemah aku memandang jiwaku, sebesar itu aku ingin kembali pada fitrahku.

Setetes air mata surga mengalir dari sudut kerling. Teringat akan aib dan khilaf yang sengaja diperbuat. Bagai debu dosa nampak menyelimuti diri, malu! Begitu hinanya aku di hadapan-Mu ya Rabb...Ampuni aku.

Kerikil tertawa padaku. "Kamu hanya mengingat pada hari ini. Dimana kamu berada? "

Bersama debu, aku luruh. Kepada-Mu, terhalang jalan oleh noda hitam. Sayupku kini berganti air mata penyesalan.

Rindu membuncah ingin sujud di tanah suci, jalanku terhadang oleh sejumlah kertas. Tuhan, izinkan aku bersujud di hadapanMu

Ribuan jarak aku tempuh untuk  sampai ke tanah suciMu.
Aku tenggelamkan diriku pada barisan doa dalam sujud panjang. Tengadah tanganku padaMu untuk dosa yang menebal karena aku yang bebal.

Tak ingin aku mengingat, jumawa menebar gambar yang aku buat. Tergambar pongah dalam pesawat. Telentang nyaman di kasur busa. Pun menyantap lahap daging onta.

Sekelebat sayap mengepak. Menembus dinding udara, menyapa tenda,"Bagaimana rupa para pendosa? "

Aku tertunduk. Tak punya nyali menatap sayap terkepak.
"Akulah pendosa itu!"

Aku luruh, sirna angkara murka yang mendekam dalam tubuh
Bercucuran butir-butir peluh
Tak kuasa menghitung baris dosa dosa
Yang tegak berjajar dan menantang angkuh.

Tubuhku bergetar. Lidahku kaku. Ambruk! Aku teringat dosa-dosa yang telah aku perbuat. Pernah, dengan ringannya aku membentak ibu.
"Tuhan, akulah pendosa itu," bisikku lagi, semakin lirih.

Arafah yang suci. Ibadah itu indah. Kini saatnya aku beribadah untuk menebus segala salah.


Saat menuju rumah-Mu, aku lupa jika ketinggian angkasa mampu menyedot separuh nyawaku. Aku yang gemetar di tempat dudukku, menjadi sangat bertakwa seperti saat di dalam rumah-Mu. Aku benar-benar berpasrah hanya kepada-Mu.

Ratusan bulan aku memimpikan saat ini.
Lembar dan keping rupiah aku sisihkan demi melihat bait-Mu.
Ya Illahi Rabbi, ridhoi-lah ibadahku.

"Janganlah engkau mengeluh, jika sudah sampai di sana. Terkadang engkau dapati suasana tak seindah yang dibayangkan. Terpaan panas terik matahari bisa menemanimu sepanjang siang." pesan temanku saat berangkat terngiang kembali membuatku senantiasa banyak bersabar dan terus larut dalam zikir dan doa.

Keluh dan peluh takkan menyurutkan langkah. Menguatkan niat ibadah semata Lillah. Semoga berkah berlimpah.

Sebuah perjalanan, pasrah diri. Tidak lagi memikirkan duniawi.  Tidak pula berharap sepenuhnya kembali. Semua kehendak Illahi.

"Labbaik allahuma labaik."

Aku berbisik di tengah derai air mata tak berhenti.

"Ini aku ya, Allah. Aku datang penuhi panggilan-Mu. Sepenuh rindu."

Penyatuan dalam tarikan nafas
Tempat temu dalam relung suci
Aku bersimpuh pada sesungguhnya yang bersemayam

Sepenuh yakinku bahwa Engkau dan aku tak lagi menjadi asing
Satu dalam detak yang sama, ya Rabb.

DekapMu  sesungguhnya tak pernah lepas u

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun