Pernahkah Anda menghitung berapa banyak layar yang Anda lihat ketika sedang memiliki waktu senggang? Akhir-akhir ini saya menyadari bahwa di waktu senggang, saya dapat melihat hingga tiga layar: layar televisi, layar smartphone, dan layar laptop. Begitu banyak konten yang ditampilkan pada layar-layar ini, begitu banyak pula perhatian yang saya berikan pada mereka.
Dua di antara ‘layar’ yang sering saya buka ini tergolong media baru, sementara layar televisi termasuk media lama. Perbedaan dari dua jenis media ini adalah bisa tidaknya kita memilih konten yang ingin kita lihat. Dengan membayar jasa layanan internet, kita dapat lebih bebas memilih konten yang kita ingin lihat pada media baru.
Namun ada satu hal yang pasti ada pada media baru maupun media lama yang kita nikmati: iklan. Kehadiran iklan pada kedua media ini merupakan hal yang tidak dapat dielakkan. Pada media baru, walau kita membayar untuk jasa layanan internet, iklan membuat banyak aplikasi atau situs menjadi gratis untuk kita akses sepanjang waktu. Sementara pada media lama, secara kita hanya membayar biaya listrik untuk menyalakan TV, iklan menjadi sumber uang bagi program-program yang ditayangkan. Jadi bayar maupun tidak bayar, kita semua akan tetap terkena iklan bukan?
Menurut Wells (1992),periklanan adalah komunikasi non-personal yang dibayar oleh pihak sponsor yang menggunakan media massa untuk membujuk dan mempengaruhi audiens. Tujuannya adalah untuk mengubah perilaku audiens atau membuat audiens menggunakan produk yang diiklankan.
Nah, ini lah bagian yang menarik. Mungkin selama ini kita pikir hanya kita lah yang menonton dan mengawasi apa yang ada di media, padahal ternyata orang-orang di balik media juga sedang mengawasi kita.
Berkuliah di jurusan Ilmu Komunikasi dengan program studi periklanan memberikan saya cukup banyak gambaran tentang apa yang terjadi di balik hadirnya sebuah iklan. Percayalah, tiga tahun sudah saya dan teman-teman kuliah pada jurusan ini, banyak sekali hal yang harus ditempuh sebelum akhirnya sebuah iklan dapat dimunculkan pada media.
Jika Anda pikir Anda dapat menghindari iklan dengan menentukan media apa yang sedang ingin Anda gunakan dan memilih konten yang akan dikonsumsi, maka coba pikir kembali. Pada dunia periklanan, ada istilah target market atau target audience. Ya, target. Anda merupakan sasaran iklan kami.
Ibarat sedang berburu, tidak mungkin Anda menembakkan peluru yang terbatas secara asal. Begitu juga dengan kami di dunia periklanan, kami berusaha membidik dengan tepat sasaran iklan kami (baca: Anda). Bagaimana cara menepatkan sasaran? Tentu dengan terlebih dahulu mempelajari kebutuhan, keinginan, dan perilaku sasaran yang kami tuju.
Kami mempelajari media apa yang Anda pilih dan konten seperti apa yang dapat mempengaruhi Anda. Ketika sebuah iklan direncanakan dan dieksekusi dengan tepat sesuai dengan target, pasti setidaknya target akan cukup tertarik untuk meluangkan waktu dan menyimak pesan persuasif dari kami. Jadi kali berikutnya Anda menemukan sebuah iklan yang menarik dan memorable, berarti kami telah berhasil membidik Anda.
Mungkin terdengar gamblang, namun begitulah bisnis. Begitu banyak produk dalam kategori yang sama, sehingga salah satu cara untuk membedakan produk adalah dengan membuat iklan yang ‘berbeda’. Persaingan untuk menjadi berbeda inilah yang menuntut orang-orang di balik media untuk selalu mengerahkan segala bentuk kreativitas terbaik mereka. Sangat menyanjung bukan? Kami semua memperhatikan Anda dan melakukan usaha terbaik demi mendapat sedikit perhatian Anda.
Perebutan target ini kemudian berbuah kekuatiran. Banyak isu yang timbul di seputar dunia periklanan. Ada orang-orang yang bilang bahwa iklan menimbulkan kebutuhan buatan, mendorong orang untuk membeli produk yang sebenarnya tidak diperlukan. Padahal iklan tidak menciptakan kebutuhan, iklan hanya membantu konsumen memilih produk mana yang harus digunakan untuk memenuhi kebutuhan. Pengiklan yang berhasil adalah mereka yang berhasil memenuhi kebutuhan sejati target mereka.
Di Indonesia, pemerintah sudah mulai turun tangan untuk mengatasi permasalahan di atas. Selain dengan menegaskan Undang-Undang, pemerintah juga melakukan usaha preventif dalam bentuk mengeluarkan Etika Pariwara Indonesia (EPI). EPI dirumuskan oleh Dewan Periklanan Indonesia (DPI) dan kemudian pelaksanaannya diawasi oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
EPI adalah ketentuan-ketentuan normatif yang menyangkut profesi dan usaha periklanan yang telah disepakati untuk dihormati, ditaati, dan ditegakkan oleh semua asosiasi dan lembaga pengembannya (EPI,2007:18). Kehadiran EPI disini tidak hanya mengontrol semua perusahaan yang beriklan, tapi juga melindungi para target audiens. Jadi setelah melakukan penelitian mengenai target, kami harus kembali memeriksa EPI untuk memastikan bahwa konten yang akan kami bawakan ke media tidak melanggar etika dan aman untuk dikonsumsi target.
Banyak isu yang di atur dalam EPI. Jauh lebih banyak dari yang dapat Anda bayangkan. Mulai dari penggunaan pemeran, tindakan-tindakan yang tidak boleh ditampilkan, hingga pengaturan mengenai tata bahasa yang boleh digunakan. Anda bisa cek ke google atau youtube untuk melihat iklan-iklan seperti apa yang melanggar etika dan akhirnya ditarik karena dirasa tidak pantas untuk ditampilkan pada media.
Bayangkan jika iklan di bawah tayang ketika Anda sedang menikmati TV bersama anak Anda
Terkait dengan EPI, saya pribadi bersyukur dapat menikmati media seperti saat ini karena saya tahu bahwa kontennya sudah terlebih dahulu disortir oleh orang-orang di balik media. Masih ada orang-orang bertanggungjawab yang melindungi hak konsumen. Sebagai orang di balik media saya juga jadi menghargai bahwa target bukanlah sekedar target, mereka juga individu berperasaan.
Sebuah quotes dari David Ogilvy, salah seorang tokoh di dunia periklanan, saya rasa juga sejalan dengan EPI
“Never write an advertisement which you wouldn’t want your family to read. You wouldn’t tell lies to your wife. Don’t tell them to mine”