[caption id="attachment_198237" align="alignright" width="298" caption="Jenderal Soedirman/Admin (Repro Kompas/Ardus M Sawega)"][/caption] Jendral Soedirman: Jendral Soedirman memang bukan "The Smiling General" seperti Jendral Besar Soeharto......Namun belialu adalah "The Holy General", pemikiran dan perilakunya mencerminkan semua itu.... Dikisahkan pada masa perang gerilya clash kedua (1948-1949) mulai berjalan di Klaten, tatkala Jendral Sudirman dan pasukannya baru keluar dari kota dan tiba di Klaten yang terletak di sebelah timur Jogja. Daerah itu terkenal oleh penduduknya yang berkecukupan, dan banyak industri. Seorang staff Jendral Sudirman mengusulkan pada Si Panglima untuk meminta pada penduduk yang kaya agar memberikan harta bendanya demi membiayai perang gerilya. Apa jawaban Jendral Sudirman? Jendral Sudirman diam dan memanggil ajudannya. Beliau menyuruh ajudannya kembali ke Jogja untuk menemui istrinya. Dimintanya si ajudan meminta istrinya untuk menyerahkan semua perhiasan yang dibelinya sejak jaman Belanda -- untuk membiayai perang gerilya. Sang Jendral memilih menyuruh istrinya untuk menyerahkan harta benda demi perjuangan. Ternyata Istri Jendral Sudirman-pun rela menyerahkan semua perhiasannya untuk membiayai perjuangan kemerdekaan. Seandainya Indonesia memiliki pemimpin-pemimpin dengan kemampuan memimpin dan kebesaran hati seperti Jendral Sudirman, dapat dibayangkan bagaimana majunya Indonesia dan betapa sulitnya pungli hidup subur di negeri kita....... Naga Bonar: Figur ini lebih kita kenal melalui film karya Dedy Mizwar.....Kalau melihat Film Layar Lebar lain produksi Indonesia, “Naga Bonar Jadi 2″ memang punya kualitas yang “luar biasa”. Temanya jernih dan bernas, penuh dengan hikmah yang tidak menggurui. Pantas saja Deddy Mizwar mendapat pujian yang bertubi-tubi…….Oalah….. sepertinya kita sangat memerlukan tontonan dan tuntunan yang menghibur dan dapat mentertawakan diri sendiri. Sepertinya beliau telah menerapkan : “Our character is what we do when we think no one is looking.”, Karl Otto von Schonhausen Bismarck Terbukti film ini dapat diterima oleh hampir semua kalangan…..termasuk anak saya yang kedua (~7 tahun saat itu )….sangat menikmati film yang durasinya cukup panjang ini. Dia selalu tertawa dan kadang2 ikut sedih serta merenung pada setiap dialog yang terjadi antara bapak dan anak (Naga Bonar dan Bonaga). Lebih mengharukan lagi adegan Naga Bonar menghiba pada patung Jendral Sudirman agar tidak memberi hormat pada mobil yang lewat……Itu sangat kontras dengan “belief” yang dianut keduanya……Kayaknya bener peribahasa Cina ini, “If there is a strong general, there will be no weak soldiers”. Lelang Monumen 36 Milyar: Lalu apa hubungannnya semua itu dengan Lelang Monumen 36 Milyar????? Menurut berita Detikcom yang diakses Sabtu, 17/07/2010 17:22 WIB: Meskipun telah menjadi kawasan wisata sejarah, namun kepemilikan kompleks Monumen Panglima Besar Jendral Sudirman di Desa Pakisbaru, Kecamatan Nawangan, Pacitan sebagian besar masih berada di tangan keluarga Yayasan Roto Suwarno. Oleh karena itu, langkah apapun yang dilakukan terhadap situs tersebut menjadi kewenangan keluarga dan yayasan. "Itu 100 persen kepemilikannya masih di pihak kita. Jadi apapun yang akan kita lakukan terhadap monumen itu masih hak kita kan," terang Andi Buwono, juru bicara Yayasan Roto Suwarno saat berbincang dengan detiksurabaya.com, Sabtu (17/7/2010). Sebelumnya, pihak yayasan kata Andi juga pernah melakukan pembicaraan dengan pemerintah daerah setempat terkait masa depan pengelolaan kawasan monumen. Namun sejauh ini hasilnya masih buntu. Patung Jenderal Sudirman dan rumah bekas markas gerilya Bapak TNI itu dikabarkan dilelang melalui situs internet. Pemerintah Kabupaten Pacitan belum tahu menahu soal kabar lelang tersebut. Sempat ada permintaan dari ahli waris supaya pemerintah mengganti tanah seluas 10 hektar tempat patung dan rumah Jenderal Sudirman tersebut sebesar Rp 40 Miliar. Namun Pemkab belum bisa meluluskannya. "Tentunya jadi pikir-pikir lagi. Terlalu besar nilainya. Uang dari mana segitu. Tapi belakangan Pemkab mikir lagi. Cuma kok sekarang ada informasi ini," ujar Kabag Humas Kabupaten Pacitan, Endang Surjasri. Kata Penutup: Panglima Besar Jenderal Sudirman merupakan salah satu tokoh penting yang pernah dimiliki negeri ini. Dia pejuang dan pemimpin teladan bangsa. Pribadinya teguh pada prinsip, keyakinan dan selalu mengedepankan kepentingan rakyat dan bangsa di atas kepentingan pribadinya. Sudirman lahir pada 1916 di desa Bodas, Karangjati, Purbalingga, Jawa Tengah. Sebelum memasuki dunia kemiliteran, Sudirman berlatar belakang guru HIS Muhammadiyah di Cilacap dan aktif kepanduan Hizbul Wathan. Sejarah mencatat, ketika berusia 31 tahun dia sudah menyandang pangkat jenderal. Meski saat itu menderita sakit paru-paru, tetapi dia terus bergerilya melawan penjajah. Apa sesungguhnya yang membuat Sudirman memiliki keteguhan dan prinsip kuat dalam hidupnya sehingga dia memiliki nama harum di negeri ini? “Sudirman mendapat didikan seorang ulama pada masanya. Inilah yang membuatnya memiliki keteguhan dalam berjuang. Meskipun dia menderita sakit paru-paru dan harus ditandu, tetapi semangat juangnya tinggi,”ujar H. Abdul Malik salah seorang ulama di Palimanan, Cirebon. Dikisahkan, sekitar 50 km dari Kota Purbalingga, ada seorang ulama bernama Kyai Haji Busyro Syuhada. Sang ulama memiliki sebuah pesantren di desa Binorong, Banjarnegara. Selain dikenal sebagai ulama, Kyai Busyro juga seorang pendekar pencak silat (ketika itu istilahnya pencak ragawi dan batin). Sebagaimana umumnya pesantren, para santri diajarkan ilmu agama dan beladiri pencak. Pencak silatnya dikenal dengan nama Aliran Banjaran yang intinya memadukan ilmu batin dan ilmu dhohir. Dikemudian hari pencak silat yang dirintis Kyai Busyro Syuhada menjadi cikal bakal perguruan silat Tapak Suci Putera Muhammadiyah. Suatu hari, Sudirman berkunjung ke pesantren Kyai Busyro di Banjarnegara. Dia bermaksud silaturrahmi. Saat itu Sudirman masih menjalankan pekerjaan sebagai guru di Cilacap. Pada pertemuan itu, tiba-tiba saja Kyai Busyro menangkap suatu firasat saat berhadapan dengan Sudirman. “Kyai Busyro menyarankan agar Sudirman tinggal sementara waktu di pesantren. Dia ingin agar Sudirman mau menjadi muridnya. Kyai Busyro tidak menjelaskan alasan sesungguhnya,” ujar H. Abdul Malik. Tentu saja Sudirman terkejut mendengar saran Kyai Busyro Syuhada. Tetapi dia menyambut dengan antusias. Bagaimanapun juga, saran dan nasehat seorang ulama tentu baik dan pasti ada alasan-alasan khusus yang tidak dapat diungkapkan. Selanjutnya Sudirman nyantri di pesantren asuhan Kyai Busyro Syuhada. Saat itu usia Sudirman sekitar 25 tahun. Selama menjadi santri, Sudirman diperlakukan khusus oleh Kyai Busyro. Bahkan terkesan diistimewakan. Semua keperluan Sudirman menyangkut urusan apa saja, termasuk urusan makan dan minum selalu disiapkan. Kyai Busyro sengaja menyediakan seorang pelayan khusus untuk murid spesialnya itu. Pelayan itu masih keponakan Kyai Busyro sendiri yang bernama Amrullah. Saat itu usia Amrullah lebih muda 5 tahun dibandingkan Sudirman. Amrullah adalah ayah kandung Abdul Malik. “Ayah saya menceritakan seputar bagaimana Kyai Busyro menggembleng Sudirman. Di lingkungan keluarga besar kami, kisah ini sebenarnya sudah umum diketahui,”kata Abdul Malik. Menurutnya, gemblengan terhadap Sudirman sepintas memiliki kemiripan pola didikan silat dalam film Mandarin, seperti: Shaolin Temple. Murid dilatih ilmu silat dan juga disuruh melakukan olahraga yang menguras fisik. Namun demikian, Sudirman diharuskan berpuasa dan saat tengah malam melakukan shalat sunnah secara rutin. “Bagaimana sebenarnya bentuk didikan secara fisik?” Tanya saya. “Salah satu cerita yang pernah saya dengar, meskipun dalam keadaan berpuasa, Sudirman diperintahkan melakukan pekerjaan keras memotong beberapa pohon yang ada di dekat pesantren. Batang-batang pohon itu kemudian diseretnya. Lalu dimasukkan ke dalam kolam atau empang. Pekerjaan itu dilakukan sendirian tanpa dibantu siapapun. Setelah matahari terbenam, batang pohon itu harus dikeluarkan lagi dari kolam,” Jawab Abdul Malik. Abdul Malik menambahkan, saat Sudirman berbuka puasa dan sahur, Amrullah bertugas menyediakan makanan dan minuman. Di samping itu, Kyai Busyro juga memberi amalan zikir atau hizib khusus kepada Sudirman untuk dibaca setiap harinya. Secara hampir bersamaan, hizib ini juga diamalkan Amrullah (kelak Amrullah menjadi ulama di Wonosobo, Jawa Tengah). Pada tahun 1942, Kyai Busyro meninggal dunia. Melihat kenyataan itu, Sudirman memutuskan kembali ke kampung halamannya di Purbalingga. Namun tidak berapa lama kemudian balatentara Jepang mulai menjajah Indonesia. Seolah sudah menjadi takdirnya, Sudirman segera mengikuti pendidikan militer di Bogor bergabung dengan tentara PETA (Pembela Tanah Air). Begitu tamat pendidikan, Sudirman menjadi Komandan Batalyon di Kroya, Jawa Tengah. Sesudah TKR (Tentara Keamanan Rakyat) terbentuk, Sudirman diangkat menjadi Panglima Divisi V/Banyumas. Pada puncaknya, Sudirman menjadi Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia (Panglima TNI pertama dan termuda) hingga beliau wafat pada 29 Januari 1950. “Apa yang saya katakan tadi hanya sepenggal cerita saja. Sebenarnya kisah gemblengan Kyai Busyro kepada Sudirman cukup banyak. Tetapi intinya, Sudirman mendapat bimbingan khusus dari seorang ulama pada masanya. Inilah yang membuatnya berhasil menjadi pemimpin,” ujar Abdul Malik.
KEMBALI KE ARTIKEL