Nah, yang dilakukan Mba Savitri sebagai sejarawan ini justru menelusuri perkembangan sejarah mental pengarang lewat karya-karyanya. Justru inilah sebaik-baiknya cara--sejalan yang dianjurkan dalam perkembangan teori-teori sastra--untuk menelusuri sejarah sastra. Hasilnya, luar biasa! bahkan kita dapat mengetahui frustasi Pram sebagai sastrawan besar--yang kelak akan lebih besar--karena sering kali tidak punya uang dengan menelusuri benang merah pada cerpennya "Sunyi Senyap di Siang Hidup" (thn. 1956). Dulu, profesi pengarang di negeri ini berpenghasilan sangat rendah. Buku ini telah berhasil menyuguhkan fakta-fakta keras.
Dan, sebagai buku sejarah yang baik memang sepatutnya tidak final. Begitupun buku ini. Menyuguhkan simpulan Pram yang "luruh dalam ideologi" sesungguhnya hanya sampai pada karyanya Bumi Manusia (thn. 1980) yang dinilai Savitri lebih konservatif dibanding karya-karya Pram sebelumnya yang lebih revolusioner. Padahal, satu tahun kemudian Pram berturut-turut menerbitkan Anak Semua Bangsa (1981), Jejak Langkah (1985), dan Rumah Kaca (1988) sebagai penutup tetraloginya. Maka, simpulan me-"luruh" konservatif masih sangat bisa ditinjau ulang. [Tapi, kalau harus menunggu rampung kapan Mba Savitri lulus Ph.D-nya, he2]. Terima kasih, Mba, telah memelopori penulisan sejarah sastra Indonesia yang bernas.
*Tjatetan: djika sebahagian oerang pernah salah kira tentang sosok diri Pram jang seperti saoerang pendjahat hingga karja2nja dilarang ntu, sekiranja dalem boekoe ini memberitahoeken djarang oerang jang tahoe bahwa doeloe Pram ijalah sorang tentara (nasionalis)!--ijaitoe Sersan Majoor jang dikirim/ menjoesoep ke daerah-daerah pertempoeran goena melaporken (lisan en toelisan) perkembangan keadaan di medan perang. Inilah sekiranja jang telah mengasah kemampoen prima Pram dalem menoelis (lht. mitsalnja Perboeroean). Djoega keadaan Ajah dan Iboenja sedikit banjak tlah mempengaroehi karja2 Pram. Loear biasa!