Ke-4 roman itu menceritakan tentang petualangan (alam pikiran) seorang tokoh pribumi di masa kolonial yang hampir saja dimaki "Monkey!" oleh guru Belanda-nya (namun segera si Guru memelesetkannya menjadi "Minke!" dan segeralah menjadi sebutan teman-temannya). Di mulai dari Bumi Manusia yang menceritakan semasa Minke sekolah dan menikah dengan Annelies, gadis indo-belanda. Namun, ketidakadilan terhadap pribumi terus datang bertubi. Annelies diharuskan mengikuti hukum kaum Belanda hingga terpaksa harus dikirim ke Netherland. Dalam Anak Semua Bangsa dikisahkan sampai ajalnya bersambut di Negeri Kincir Angin itu, dalam keterasingan dalam kesendirian Annelies meninggal. Tragis!
Ketidakadilan tidak berhenti sampai di sana, terus menerpa keluarga mertua Nyai Ontosoroh dan menantu, Minke. Hingga mereka bersepakat untuk menyekolahkan (mengungsikan) Minke ke Batavia, dari Wonokromo yang takbermasa depan. Dalam Jejak Langkah, Minke diceritakan mengikuti pendidikan kedokteran, dengan kesadaran untuk membantu saudara sebangsanya, tanpa pamrih. Namun, kenyataanya di sekolah calon dokter di Batavia itu ia takmenemukan secuil pun itikad mulia dari para calon dokter. Minke kecewa, hingga menjadi takacuh terhadap pendidikannya.
Kritik ini masih terasa sangat relevan di masa kini ketika para calon dokter ingin menjadi dokter hanya untuk menumpuk kekayaan hasil dari kontrak dengan penjual obat yang menjanjikan bayaran tinggi namun menjadikan harga menebus kesehatan melambung takterjaungkau seluruh kaum! Bagi sudara yang bercita-cita menjadi dokter, sila baca bagian ini. Dan ketika Minke dikeluarkan karena tidak mengikuti ujian sebab mengobati istrinya yang sakit, Ang San Mei, ia mulai beroganisasi. Organisasi ini bernama Syarikat Priyayi (cikal bakal Syarikat Dagang Islam/ Syarikat Islam), organisasi pribumi pertama semasa Hindia-Belanda yang menginspirasi kelahiran organisasi Budi Utomo.
Dalam berorganisasi dan penerbitan Medan Priyayi (koran pertama pribumi), Minke dipertemukan dengan banyak tokoh aktivis: Sandiman, Marko (saya duga inisial dari Mas Marco Kartodikromo), Prinses van Kasiruta (putri raja Maluku dalam pengasingan di Sukabumi, yang kemudian dipersunting Minke), Haji Misbach (yang digambarkan gendut dan tinggi nan lucu yang akan menjadi tokoh PKI kawakan [yang berikhtiar menjembatani Islam dan komunisme; original]), Ang San Mei (aktivis Angkatan Muda Tiongkok calon istri Khow Ah Soe yang tewas di Surabaya: tentang Khow Ah Soe ini mungkin ada hubungan dengan pelarian seorang sastrawan muda Tiongkok--seangkatan Lu Xun yang juga berpendidikan kedokteran--ke tanah Jawa yang kemudian dibunuh di Jawa Barat oleh spion Jepang [yang mendapat gelar pahlawan dengan makam yang belum ditemukan] setelah pelariannya dari Sumatra [keterangan lisan ini diperoleh dari obrolan Huang Yueming (29/2) pengajar sastra Indonesia di Shanghai International Studies University]).
Usaha organisasi Minke tidak selalu berjalan mulus. Ia kerap membuat kesalahan (karena tidak pernah ada contoh, ia adalah sang Pemula). Sisi ini menarik bagi penyuka kisah petualangan. Namun, satu hal yang malah dipujikan Prinses van Kasiruta pada Minke bahwa ia adalah seorang yang "berani salah dan mencoba". Syarikat Priyayi mendapat inspirasi besar dari Tiong Hoa Hwee Koan organisasi Cina-Peranakan yang telah lebih dulu berdiri dan juga Jamiatul Khoir organisasi Arab-Peranakan yang mulai tumbuh menyelenggarakan pendidikan mandiri. Minke tertantang oleh ceramah singkat seorang tua pensiunan dokter yang telah berkeliling mengabarkan pentingnya untuk memulai berorganisasi bagi pribumi agar tidak ketinggalan dari golongan Cina dan Arab.
Kebulatan tekad untuk memulai organisasi pribumi pun terinspirasi oleh Perang Puputan di Bali. Meski tidak pernah mendapat pemberitaan resmi dari media massa manapun, Minke dapat memantau kabar dari Bali dari seorang kawan Belanda-liberal-nya, Ter Haar, yang terus mengabarkan heroisme bangsa Bali yang bergeming dari kepungan tentara bersenjata Belanda yang taksepadan. Puputan adalah perang penghabisan, perang sampai raga mati takbersisa. Ketidakadilan terhadap pribumi nyata di mana-mana, bahwa kemajuan musti digapai oleh pribumi taklain dengan berorganisasi.
(Dengan karyanya ini sudah semestinya Pram mendapat hadiah tertinggi dalam nobel bidang kesusastraan. Namun, penilaian nobel takhanya tentang kualitas sebuah karya, juga meliputi keberfungsiannya di masyarakat. Sayang pemerintah Orba malah melarang--dengan semena-mena--karya-karya Pram, takterkecuali tetralogi Buru. Jelas ini memukul telak keterbacaan karya besar dari Indonesia ini. Takseperti, misalnya, Orhan Pamuk yang karyanya selalu mendapat sambutan antusias warga Turki hingga mengantarkannya memperoleh nobel sastra tahun 2006. Sayang, Pram telah tiada. Namun, karyanya akan tetap mengabadi: "Sumbangan dari Indonesia untuk Dunia").
Tjatetan: Djoega perloe ditjatet djika sudara pernah batja boekoe Bang Ben Anderson jang mahsoer ntu, sekiranja soelit memahami waham apa ntu "imagined communities" alias 'komuniti jang dianggit' batja adja Djedjak Langkah ini. Di dalemnja menerangken dengan djelas en gemilang, begimana media pada moela-moela mengoebah benak anak manoesija. Bak bakteri kata Ang San Mei. Kutika ia membikin seboeah poster propaganda, segera aken berbiak memuluh-meratoes-meriboe hingga melaksa dengan mecine tjitak organisasi. Begitoelah moela kesadaran berbangsa dalem 'imagined communities' jang menoemboehken nationalisme Indonesia pada moelanja. Djoega soedah semestinya Bang Ben poen mendevinisiken 'komuniti jang dianggit' terinspirasi dari tetralogi Pram khoesoesnja Djedjak Langkah ini, begitoe sahaya kira.
Pokoknya rame dah! Baca aje [bersambung...]