Konon pada 1949, Pram jadi tahanan paling kaya di penjara Belanda, Bukitduri, Batavia—Pram seorang tentara Republik Indonesia ditahan Belanda 1947-1949 di Jakarta, meski sudah merdeka, Belanda baru mengakui kedaulatan Indonesia 1949. Ini gara-gara tulisannya yang berjudul
Perburuan diseludupkan Prof. Resink ke luar penjara lalu diberikan kepada H.B. Jassin lalu diikutsertakan dalam Sayembara Penulisan Novel Balai Pustaka—tanpa sepengetahuan Pram—mendapat hadiah pertama sebesar Rp1.000, meski konon lagi naskah itu sebenarnya datang sudah terlambat kepada panitia (tentang konon-konon ini lihat
Menggelinding 1, 2004). Namun, tulisan ini bukan tentang seberapa kaya Pram waktu itu, saya lebih senang membuka kemungkinan Pram melakukan plagiat atas karya yang membuat ia menjadi tahanan terkaya di penjara Bukitduri itu,
Perburuan (1949). Mengingat kasus penjiplakan karya sastra paling masyhur, kita tentu terlalu sering membicarakan roman
Tenggelamnya Kapal van Der Wijk (1939 yang pertama terbit sebagai cerbung di majalah
Pedoman Masyarakat, 1938) karya Buya Hamka yang dituduh menjiplak karya J.B. Alphonso Karr,
Sous les Tilleuls (1832)/'
Di Bawah Pohon Tilia' melalui versi Arab yang ditulis Mustafa Luthfy Al Manfaluthy,
Majdolin/'
Magdalena: Di Bawah Naungan Pohon Tilia' (diterjemahkan kemudian oleh A.S. Alatas, 1963) oleh Abdullah S.P. yang konon nama samaran Pram di surat kabar
Bintang Timur edisi 5, 7, dan 14 September 1962 yang segera melahirkan polemik besar sampai 1964. Namun, tulisan ini bukan tentang “Siapa Abdullah S.P.” atau “Bagaimana mungkin seorang kiai sejuta umat, patron moral, teladan agama melakukan pencurian buah pikiran?” basi, tapi menarik tentang ukuran plagiat yang ditudingkan pada
Tenggelamnya Kapal van Der Wijk (TKvDW) karya Buya Hamka itu. Ukuran tuduhan plagiat itu seputar persamaan tema antara
TKvDW dengan
Magdalena—juga dibuktikan dengan persamaan banyak kalimat dan beberapa alinea yang hampir sama—yang Abdullah namai sebagai
idea script (lihat Muhidin M. Dahlan, 2011.
Aku Mendakwa Hamka Plagiat). Tentu usaha pembuktian karya sastra plagiat yang ditunjang riset ini sungguh mulia demi perkembangan karya sastra Indonesia yang berkualitas—jangan sampai ada lagi
Kau yang Jatuh dari Bintang, cih, malu-maluin! Dalam benak Pram—yang pada saat itu sedang berlaga dgn panji “seni untuk rakyat”—ada cara untuk menyehatkan mentalitas seni, yaitu: memilih mana yang mesti dibabat dan mana yang harus ditumbuhkan. Mana gulma, mana padi. Mana yang mesti disiangi, mana yang dipupuk. Maka, plagiarisme adalah gulma yang musti dibabat. Saya kira pemikiran Pram ini masih relevan sampai saat ini, bahwa plagiarisme itu menjijikan! Namun, pembuktian plagiarisme itu memang harus ditunjang riset agar tak jadi fitnah. Omong-omong tentang riset plagiarisme karya sastra yang dilayangkan Abdullah S.P. yang ia namai
idea script yang membandingkan
Magdalena dan
TKvDW adalah sebagai berikut:
KEMBALI KE ARTIKEL