Mohon tunggu...
KOMENTAR
Ilmu Sosbud

Praktik Pembiayaan Berbasis Syariah Melalui Platfrom Crowdfunding

4 Oktober 2024   13:40 Diperbarui: 4 Oktober 2024   13:44 13 0
Praktik pembiayaan berbasis syariah melalui platform crowdfunding kini mengalami perkembangan pesat, seiring dengan meningkatnya kebutuhan modal usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Di tengah tantangan ekonomi dan keterbatasan akses permodalan dari lembaga keuangan konvensional, model ini menawarkan alternatif yang lebih inklusif bagi pelaku usaha. Crowdfunding berbasis syariah memberikan akses modal melalui sistem yang dirancang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, di mana akad-akad seperti mudarabah (bagi hasil) atau musharakah (kemitraan) sering digunakan. Ini memungkinkan pelaku UMKM untuk memperoleh dana tanpa terjebak dalam praktik riba (bunga), yang dilarang dalam Islam.

Namun, di balik lonjakan popularitasnya, muncul sejumlah permasalahan hukum yang perlu dicermati. Seiring dengan pertumbuhan volume transaksi dan meningkatnya jumlah pengguna platform, praktik crowdfunding syariah mulai menghadapi berbagai tantangan. Salah satu isu krusial yang mencuat adalah pelanggaran terhadap prinsip-prinsip syariah, baik dalam hal transparansi pengelolaan dana, kesepakatan bagi hasil, maupun dugaan praktik riba terselubung. Misalnya, terdapat kasus di mana ketidaksesuaian antara kesepakatan akad awal dan realisasi pembagian keuntungan antara investor dan pelaku usaha terjadi, di mana investor menerima keuntungan tetap yang menyerupai bunga, bukan berbasis bagi hasil sebagaimana yang diatur dalam akad syariah. Transparansi dalam pengelolaan dana juga menjadi pemicu utama masalah ini. Banyak kasus menunjukkan bahwa pelaku usaha atau platform tidak secara jelas memberikan informasi tentang pengelolaan dana yang terkumpul, menciptakan kekhawatiran akan adanya unsur gharar (ketidakpastian) yang bertentangan dengan prinsip syariah. Masalah ini semakin kompleks dengan pertumbuhan teknologi finansial (fintech) yang cepat, sering kali mendahului regulasi yang memadai untuk mengawasi praktik-praktik tersebut. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya penyalahgunaan dana atau praktik yang merugikan pihak-pihak tertentu, terutama investor kecil yang mungkin kurang memahami detail dari setiap akad yang diterapkan.

Dengan munculnya kasus-kasus tersebut, crowdfunding syariah kini dihadapkan pada tantangan serius untuk memastikan bahwa praktiknya tetap selaras dengan kaidah-kaidah hukum syariah, sekaligus menjaga integritas dan kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan syariah. Regulasi yang lebih ketat dan pengawasan yang lebih baik mungkin menjadi solusi, tetapi yang lebih penting adalah komitmen dari semua pihak untuk menjalankan prinsip-prinsip keadilan dan transparansi yang menjadi fondasi utama dalam ekonomi syariah.

Kaidah dan Norma Hukum yang Berkaitan dalam Ekonomi Syariah: Perspektif Yuridis Normatif dan Yuridis Empiris.

Dalam sistem hukum ekonomi syariah, terdapat beberapa kaidah dan norma hukum yang mendasari setiap transaksi. Kaidah yang paling mendasar adalah larangan riba, yang secara tegas dilarang dalam Al-Qur'an dan Hadis. Riba, yang didefinisikan sebagai tambahan yang tidak sah dalam transaksi pinjaman atau jual-beli yang memberikan keuntungan tidak adil kepada satu pihak, dianggap sebagai eksploitasi dan bentuk ketidakadilan yang harus dihindari. Larangan ini memiliki akar yang kuat dalam ayat Al-Qur'an, seperti dalam Surah Al-Baqarah ayat 275: "...Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba...". Dengan demikian, setiap transaksi dalam ekonomi syariah, terutama dalam platform crowdfunding, harus memastikan bahwa tidak ada unsur riba yang terlibat, dan kepatuhan terhadap peraturan tersebut diharuskan agar transaksi dianggap sah secara hukum.

Sementara itu, pendekatan yuridis empiris berfokus pada bagaimana norma-norma hukum ini diterapkan dalam praktik sehari-hari, serta dampaknya terhadap masyarakat. Dalam konteks crowdfunding syariah, norma transparansi menjadi elemen krusial yang harus dijunjung tinggi. Investor berhak untuk mengetahui secara jelas bagaimana dana yang mereka investasikan dikelola dan bagaimana keuntungan akan dibagi. Dalam hal ini, transparansi informasi mencakup semua tahapan transaksi, dari penggalangan dana hingga pembagian hasil. Kurangnya transparansi dapat menciptakan gharar, yaitu ketidakpastian yang bertentangan dengan prinsip syariah. Misalnya, jika platform crowdfunding tidak memberikan informasi yang cukup mengenai penggunaan dana atau pembagian keuntungan yang tidak sesuai dengan akad, maka hal ini dapat mengakibatkan pelanggaran terhadap prinsip syariah yang lebih luas, termasuk keadilan dan ridha. Pendekatan empiris menyoroti pentingnya mengamati bagaimana masyarakat merespons dan beradaptasi terhadap norma-norma ini dalam praktik, sehingga memungkinkan identifikasi potensi masalah yang mungkin muncul dalam implementasi.

Disamping itu, syariah juga menekankan pentingnya ridha, yaitu kesepakatan yang sah antara semua pihak yang terlibat dalam transaksi. Dalam setiap akad, kesepakatan harus didasarkan pada pemahaman yang jelas dan saling pengertian tanpa adanya unsur paksaan atau penipuan. Dalam konteks crowdfunding syariah, pelanggaran terhadap prinsip-prinsip ini seperti adanya unsur riba yang disamarkan, ketidakjelasan dalam pembagian keuntungan, atau penyalahgunaan dana dapat membuat transaksi tersebut dianggap tidak sah menurut hukum syariah.

Oleh karena itu, baik pendekatan yuridis normatif maupun yuridis empiris saling melengkapi dalam mengawasi dan menegakkan prinsip-prinsip syariah dalam ekonomi. Regulasi yang ketat dan pengawasan yang efektif terhadap platform crowdfunding syariah sangat penting untuk menjaga integritas sistem keuangan syariah dan memastikan bahwa setiap transaksi tidak hanya memenuhi syarat legalitas, tetapi juga berpegang pada etika dan moralitas yang diamanatkan oleh syariah. Dengan demikian, kaidah-kaidah seperti larangan riba, keadilan, transparansi, dan ridha berfungsi sebagai landasan yang kokoh untuk memastikan bahwa transaksi ekonomi dalam konteks syariah berjalan sesuai dengan nilai-nilai Islam.

Aturan Hukum dalam Crowdfunding Syariah

Dalam konteks hukum ekonomi syariah, platform crowdfunding yang menggunakan akad-akad syariah seperti mudarabah dan musharakah harus tunduk pada berbagai aturan hukum yang ditetapkan oleh lembaga berwenang di Indonesia. Beberapa di antaranya adalah aturan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), yang memberikan kerangka regulasi agar praktik keuangan syariah sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Aturan-aturan ini tidak hanya bersifat normatif, tetapi juga berfungsi untuk melindungi konsumen dan memastikan keadilan dalam transaksi.

1. Regulasi dari OJK. OJK, sebagai otoritas yang mengatur sektor keuangan di Indonesia, berperan penting dalam mengawasi platform peer-to-peer lending berbasis syariah. OJK telah mengeluarkan peraturan, seperti POJK No. 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, yang juga mencakup layanan yang berbasis syariah. Aturan ini mewajibkan setiap penyelenggara layanan untuk memperoleh izin dari OJK dan memastikan bahwa sistem keuangan yang digunakan mematuhi prinsip-prinsip syariah yang diatur oleh DSN-MUI. Selain itu, OJK menuntut agar ada transparansi dalam pengelolaan dana serta mekanisme penyaluran dana kepada pihak yang meminjam, guna mencegah adanya unsur gharar (ketidakpastian) dan riba (bunga).

2. Pedoman DSN-MUI. DSN-MUI juga mengoprasikan peran sentral dalam mengeluarkan fatwa-fatwa yang menjadi pedoman dalam penyelenggaraan keuangan syariah, termasuk dalam konteks crowdfunding. Salah satu fatwa yang relevan adalah Fatwa DSN-MUI No. 117/DSN-MUI/II/2018 tentang Layanan Pembiayaan Berbasis Teknologi Informasi Berdasarkan Prinsip Syariah. Fatwa ini menegaskan bahwa setiap akad yang digunakan dalam crowdfunding berbasis syariah, seperti mudarabah atau musharakah, harus dilakukan dengan transparansi penuh dan tidak boleh mengandung unsur gharar, riba, atau maisir (spekulasi). Dalam fatwa ini, dijelaskan bahwa pembagian keuntungan dan risiko harus sesuai dengan porsi kontribusi masing-masing pihak, dan platform harus memberikan laporan yang jelas dan akurat mengenai penggunaan dana yang diinvestasikan.

3. Kewajiban Transparansi dan Akuntabilitas. Selain aturan dari OJK dan DSN-MUI, platform crowdfunding syariah juga harus mematuhi prinsip-prinsip akuntabilitas dan transparansi. Kewajiban ini bertujuan untuk melindungi kepentingan investor dan pihak yang membutuhkan dana. Misalnya, platform harus menyajikan laporan keuangan yang jelas dan audit internal yang dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini penting untuk menjaga kepercayaan publik, terutama mengingat bahwa crowdfunding berbasis syariah melibatkan dana masyarakat yang rentan terhadap penyalahgunaan jika tidak dikelola secara hati-hati.

4. Sanksi Hukum. Jika ditemukan adanya pelanggaran terhadap aturan-aturan ini, baik dari sisi regulasi perbankan syariah maupun hukum positif lainnya, platform tersebut dapat dikenai sanksi. OJK memiliki wewenang untuk memberikan peringatan, mencabut izin operasi, dan mengajukan tindakan hukum terhadap platform yang tidak mematuhi regulasi. Di sisi lain, pelanggaran terhadap prinsip syariah yang diatur oleh DSN-MUI dapat menyebabkan hilangnya sertifikasi syariah bagi platform tersebut, yang pada akhirnya berdampak pada reputasi dan keberlanjutan bisnis mereka di pasar. Selain itu, investor yang merasa dirugikan juga memiliki hak untuk menggugat platform tersebut melalui jalur hukum, termasuk menggugat berdasarkan pelanggaran kontrak atau penipuan.

Dengan aturan hukum yang jelas dan tegas ini, keberadaan platform crowdfunding syariah diharapkan dapat menjadi instrumen keuangan yang lebih adil dan sesuai dengan nilai-nilai Islam. Namun, dalam implementasinya, tantangan seperti transparansi pengelolaan dana dan mekanisme bagi hasil sering kali menjadi masalah yang memerlukan perhatian lebih, terutama agar tidak melanggar prinsip syariah dan regulasi yang berlaku.

Analisis kasus Crowdfunding Syariah Perspektif Aliran Positivism Hukum dan Sociological Jurisprudence

Kasus crowdfunding syariah yang viral terkait pelanggaran prinsip syariah menimbulkan beragam perspektif analisis hukum, di antaranya dari sudut pandang Positivisme Hukum dan Sociological Jurisprudence.

Dari sudut pandang positivisme, kepatuhan terhadap regulasi yang ditetapkan oleh otoritas seperti OJK dan DSN-MUI adalah hal yang utama. Platform crowdfunding syariah harus mematuhi ketentuan yang mengatur transparansi, akuntabilitas, dan pelaksanaan akad syariah, seperti mudarabah dan musharakah. Pelanggaran terhadap ketentuan ini, seperti pembagian keuntungan yang tidak sesuai dan pengelolaan dana yang tidak transparan, dianggap sebagai pelanggaran hukum yang sah. Dalam kerangka ini, tindakan hukum harus didasarkan pada aturan yang sudah ditetapkan, tanpa mempertimbangkan nilai moral atau dampak sosial. Apabila suatu platform terbukti melanggar ketentuan ini, pendekatan positivisme mengharuskan adanya sanksi yang tegas, seperti pencabutan izin operasional, untuk memastikan semua platform beroperasi sesuai regulasi.

Sebaliknya, Sociological Jurisprudence memberikan perspektif yang lebih holistik dengan menyoroti dampak sosial dari pelanggaran hukum. Pendekatan ini berargumen bahwa hukum tidak seharusnya dilihat hanya sebagai seperangkat aturan, tetapi juga sebagai alat untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan sosial. Dalam konteks crowdfunding syariah, ketidakpatuhan terhadap prinsip syariah dapat mengakibatkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan syariah secara keseluruhan. Jika investor merasa dirugikan akibat ketidakjelasan dalam pembagian keuntungan atau adanya praktik riba yang terselubung, hal ini dapat menimbulkan stigma negatif terhadap seluruh ekosistem crowdfunding syariah, yang berpotensi menghambat pertumbuhan sektor UMKM. Oleh karena itu, sociological jurisprudence menekankan perlunya adaptasi regulasi agar mencerminkan nilai-nilai dan kebutuhan masyarakat, serta pentingnya transparansi dalam pengelolaan dana.

Dalam menghadapi tantangan yang ditimbulkan oleh kasus crowdfunding syariah ini, kita bisa melihat bahwa kombinasi dari kedua pendekatan hukum ini sangat penting. Ketaatan pada regulasi (Positivisme Hukum) dan kesadaran akan dampak sosial (Sociological Jurisprudence) harus berjalan beriringan. Regulasi yang ketat akan memastikan bahwa semua platform beroperasi dalam koridor hukum, sementara pendekatan yang lebih sosiologis akan membantu memastikan bahwa regulasi tersebut tidak hanya menjadi formalitas, tetapi juga mencerminkan kebutuhan dan harapan masyarakat. Dengan demikian, pengawasan yang efektif, pendidikan bagi pelaku usaha, dan transparansi dalam pengelolaan dana akan menjadi kunci untuk menciptakan kepercayaan masyarakat terhadap crowdfunding syariah, serta mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dalam konteks syariah. Kombinasi kedua perspektif ini dapat menciptakan praktik crowdfunding syariah yang lebih baik, mematuhi prinsip syariah, dan pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan sosial.

DAFTAR PUSTAKA

Azhari, S. (2020). Pengaruh Crowdfunding terhadap Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah di Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Keuangan Islam, 8(1), 45-56.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun