Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Empat Dayang Soni Farid Maulana

27 Desember 2011   22:48 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:40 273 0
EMPAT DAYANG SONI FARID MAULANA Oleh Sarabunis Mubarok Cerpen merupakan akroim dari cerita pendek. Tentu saja ceritanya harus pendek. Mengenai pendeknya ini, siapapun boleh berdebat dalam menentukan konvensi yang dianutnya. Yang jelas tidak boleh panjang, meskipun mengenai panjangnya itu sendiri selalu diperdebatkan. Panjang pendeknya kalimat dalam cerpen juga boleh diributkan. Meskipun secara umum lebih banyak cerpenis yang menggunakan kalimat tunggal, atau kalimat majemuk dengan satu atau dua anak kalimat saja. Meskipun ceritanya harus pendek, secara normatif cerpen setidaknya harus memenuhi beberapa unsur, di antaranya tema, karakter, alur dan latar. Karena ruangnya yang sempit, tema cerpen pada umumya merupakan cerita parsial dari sebuah peristiwa atau kejadian. Karena itu, pengarang dituntut untuk bisa memainkan karakter, alur dan latar secara efektif. Pengarang juga harus cermat dalam teknik penulisannya, baik dalam dialog ataupun narasi. Pada bagian mana pengarang harus “menunjukkan” (showing) dalam memunculkan karakter, alur dan latar, dan pada bagian mana pengarang cukup dengan “mengatakan” (telling) saja. Hal ini penting karena di sinilah pengarang menuntun imajinasi pembaca ke dalam cerita yang ditulisnya. Membaca cerita pendek dalam kumpulan puisi Empat Dayng Sumbi, karya Soni Farid Maulana, saya serasa dibawa menonton sebuah drama. Dengan disuguhi tumpukan dialog, saya harus melewati empat babak yang cukup njelimet. Pengarang seperti sengaja ingin memunculkan dunia realis dan surealis secara bersamaan. Seolah-olah ingin menggiring pembaca untuk berbaur di antara dunia realis dan mitopois. Secara garis besar, keempat cerpen ini saling berkait satu sama lain. Dalam tiap cerpennya ada beberapa keyword yang kalau pembaca tidak jeli bisa jadi ia akan tersesat. Cerpen pertama berjudul Kafe Cicak Terbang, (12 halaman). Cerpen ini menceritakan pertemuan dua tokoh cerita. Si “Saya” seorang laki-laki yang kemudian dalam dialog diperkenalkan dengan nama: Soni. Tokoh cerita yang kedua bernama Tias Prahastuti, perempuan usia setengah baya yang kemudian meminta si “Saya” untuk mempercayainya sebagai jelmaan Dayang Sumbi. Perjumpaan mereka terjadi malam hari di kafe Cicak Terbang, sebuah tempat di kawasan Lembang Utara. Lalu terjadi dialog hingga akhir cerita. Cerpen kedua berjudul Aku, Tias dan Secangkir Kopi, (12 halaman). Cerpen ini mengisahkan dua tokoh cerita yang sama seperti di cerpen pertama. Pada suatu malam, rumah si “Saya” kembali di datangi oleh Tias Prahastuti yang juga mengaku sebagai jelmaan Dayang Sumbi. Lalu terjadi dialog hingga akhir cerita. Cerpen ketiga berjudul Panggil Saya Aura, (18 halaman), juga mengisahkan pertemuan dua tokoh cerita dengan nama yang sama. Hanya saja Tias Prahastuti di sini, merupakan sosok lain, yang diisyaratkan dalam cerpen sebelumnya. Tias di cerpen ini adalah sepupu Hene. Perjumpaan mereka terjadi malam hari di gedung kesenian. Kemudian diceritakan bahwa mereka selama tujuh bulan menjalin hubungan. Suatu sore di bulan ke tujuh, si “Saya” mengunjungi rumah Tias. Lalu terjadi dialog sampai akhir cerita. Pada bagian ini nama Tias kemudian dipanggil nama kecilnya: Aura. Cerpen keempat berjudul Pisau Berkilat di Tangan Ning, (22 halaman), diawali dengna menceritakan si “Aku” yang telah kehilangan Aura. Lalu bertemu dengan Ning, yang kemudian ternyata sepupu Aura.. Agak membingungkan kalau kempat cerita ini disebut cerpen. Masing-masing mempunyai keterkaitan yang sangat erat. Selain cepen pertama, cerpen lainnya tidak berdiri sendiri. Akan ngambang jika dibaca secara parsial, disebabkan ketiganya dipengaruhi unsur mitos Dayang Sumbi dari cerpen pertama. Untungnya semua berkumpul dalam satu buku, sehingga benang merahnya masih terasa utuh. Namun jikapun disebut novelet, secara teknik penulisan, buku ini dipenuhi kaidah cerpen, terutama tidak didukung dengan deskripsi detail seperti pada umumnya deskripsi dalam novelet atau novel. Saya tidak mengetahui proses kreatifnya seperti apa, hanya saja saya merasa seperti sedang membaca naskah drama. Banyaknya dialog tanpa telling dan showing, membuat imaji visual saya  serasai sedang meononton pertunjukan teater. Dari segi cerita dan karakter tokoh, keempat cerpen ini lebih di dominasi oleh tokoh orang ke dua. Tias pada cerpen pertama dan kedua mendominasi cerita dengan unsur folklornya legenda Dayang Sumbi. Sedang si “Saya” dijadikan bulan-bulanan oleh kecantikan dan kemistikan Dayang Sumbi. Tapi rumitnya, si “Saya” terbaca sebagai sosok yang lugu dan bego tapi sekaligus cerdas dan sensitif. Begitupun pada cerpen ke tiga, Tias yang lalu berganti nama jadi Aura, menggiring si “Saya” untuk masuk ke dalam ramalan Dayang Sumbi. Pengarang seperti sengaja memberikan keyword kepada pembaca dalam cerpen ke dua, sekaligus membiarkan keyword itu tidak diingat oleh Si “Saya”. Sehingga si “Saya” jadi tampak linglung ketika bertemu dengan sosok lain yang serupa dengan jelmaan Dayang Sumbi. Namun pada cerpen ke empat, dominasi Ning diimbangi oleh tokoh si “Aku” yang dilatarbelakangi affair menyakitkan. Sebuah hubungan percintaan yang bukan lagi segitiga, tapi mungkin jajaran genjang yang aneh dan penuh misteri. Pengarang seolah sedang mengumpulkan kesimpulan cerita pada cerpen terakhir ini. Tersirat bahwa Si “Saya” yang kemudan jadi si “Aku” begitu mudah pindah ke lain body, sekaligus pindah ke lain hati. Dari Tias yang Dayang Sumbi ke Tias yang Aura, ke Hene, lalu ke Ning. Meskipun terasa ada ambiguitas di antara tokoh Hene dan Ning karena kedua-duanya sama-sama sepupu Aura dari pihak ibu. Lepas dari itu semua, yang paling menarik dari buku ini adalah nama tokoh Soni atau Onin yang juga nama panggilan pengarangnya, Soni Farid Maulana. Saya tidak tahu empirisme macam apa yang melatarbelakanginya. Namun dalam guyon penyair, empirisme macam ini biasanya disebabkan oleh keinginan pengarang untuk berpoligami, namun tak bisa terpenuhi. Piss Ah! ***

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun