Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Namaku I Coppo

1 Oktober 2012   04:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:25 181 0
Seorang gadis Tolotang, dengan tinggi sekitar 160 cm, berwajah manis dengan rambut cepak ala Demi Moore, Ia salah seorang mahasiswi dari salah satu perguruan tinggi swasta di Makassar, dengan malu-malu memperkenalkan dirinya : “Nama-ku I Coppo!”

What’s a name? Apa arti sebuah nama? Demikian ungkapan Shakesphere yang sangat populer. Pernyataan ini lahir bukan dalam konteks ‘mengabaikan’ eksistensi nama, tetapi justeru kritik sosial terhadapnya, bahwa betapa ‘sebuah nama’ sangat mempengaruhi imajinasi dan angan-angan sosial sebuah masyarakat. Nama bisa mengandaskan sebuah cinta dan pertautan rasa kemanusiaan, karena dibalik sebuah nama tersimpan status, ideologi, agama dan kelas sosial. Nama menjadi penanda kebudayaan yang padanya melekat jejak nalar kolektif masyarakat. Nama juga menjadi arena dimana budaya dominan menginjakkan kekuasaannya.

Dalam dunia modern saat ini setidaknya ada dua pabrik utama yang produknya dipakai oleh masyarakat untuk memberi nama pada diri dan generasi mereka. Kedua pabrik itu adalah agama dan modernisasi. Sejak terjadinya invasi agama luar terhadap masyarakat Sulawesi-Selatan yang dimulai kira-kira abad ke-15 M, ditandai dengan hadirnya para Islamisator dari tanah Minang dan kedatangan kolonialisme Belanda, terjadi pergeseran cara penamaan diri yang berlangsung  hingga sekarang. Begitu pula dengan semakin berkembangnya teknologi dan semakin menyempitnya ruang ‘perbatasan’ antar negara melalui proyek globalisasi, turut mempengaruhi cara penamaan diri masyarakat Sulawesi-Selatan pada umumnya. Jika sebelumnya nama-nama Bugis begitu populer untuk memberi nama pada seorang anak misalnya La Maddukkelleng, La Pattiroi, La Pallawa dan sebagainya, dengan kedatangan dua lokus kekuatan tadi, maka terjadi perubahan nama yang cukup signifikan, dari Bugis ke Arab, Jawa atau Barat. Hanya sedikit kasus saja dimana nama Bugis masih digunakan untuk pemberian nama anak.

Dalam komunitas Tolotang pemberian nama bagi seorang anak tidak dipengaruhi oleh dua lokus di atas, modernitas dan agama. Pergulatan komunitas Tolotang dengan modernitas dan agama Hindu tidak membawa perubahan berarti dalam pemberian nama anak. Tolotang tetap menggunakan asumsi lokal dalam pemberian nama anak mereka, sehingga tak aneh jika dalam komunitas Tolotang, seorang perempuan muda berusia belasan tahun, rambut cepak, berdandan ala anak ABG modern, mengendari sepeda motor, tapi bernama I Coppo atau Tenri Gangka. Demikian pemuda-nya, memakai jeans butut, mengendarai sepeda motor Ninja, tapi namanya tetap La Settiang atau La Ware.

Menurut uwa’ La Unga, meski tidak semuanya, komunitas Tolotang memberi nama anak sebagai bentuk pelestarian sejarah keluarga. Seorang anak diberi nama dengan memakai nama kakek atau neneknya. Misalnya anak uwa’ La Unga bernama La Settiang Unga. La Settiang Unga merupakan adopsi dari nama ayah La Unga yang juga sebagai kakek dari Settiang yang bernama La Setti. Begitu pula dengan I Gangka (anak kedua dari uwa La Unga) yang diambil dari nama salah seorang nenek buyutnya. Dengan demikian, pemberian nama bermakna sebagai bentuk penghargaan terhadap generasi sebelumnya dan bisa juga berarti pelestarian secara monumental sejarah keluarga.[1] Selain itu, pemberian nama dalam komunitas Tolotang juga menggunakan konsep pemaknaan dengan harapan akan memberi efek pada sang anak. Misalnya Coppo yang berartipuncak’ diharapkan sang anak  berada di atas puncak kesuksesan. Ini mirip dengan logika doa dan pengharapan dalam Islam.

Dengan tetap memakai nama-nama primordial dan lokal, komunitas Tolotang menunjukkan daya resisten yang luar biasa terhadap pengaruh modernitas dan agama.  Komunitas Tolotang tidak terperangkap dalam logika “mengikuti pusat”, seperti yang terjadi pada kebanyakan masyarakat Bugis lainnya. Komunitas Tolotang cukup berbangga dengan kelokalannya. Penggunaan nama lokal dalam komunitas Tolotang bisa juga dipahami sebagai proses pembalikan logika relasi pusat-lokal. Jika selama ini kita membayangkan, bahwa komunitas yang berada di wilayah marginal merupakan area permainan kuasa yang empuk dari penguasa. Tolotang membalikkan logika itu. mereka adalah pusat dan yang lain (bahkan yang selama ini dianggap pusat) merupakan marginnya

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun