Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Moralitas Siswa Dalam Sorotan, Siapa Tanggung Jawab?

10 Januari 2011   06:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:46 1803 0

Moralitas siswa sudah sejak lama menjadi perbincanganpara pengelola pendidikan, masyarakat secara umum dan bahkan pemerintah. Sekian lama hal tersebut menjadiperbincangan tapi belum juga ada rumusan yang jelas untuk mencegah terhadap pekembangan kenakalan siswa tersebut.

Media informasi dan komunikasi yang saat ini semakin tren di tengah-tengah masyarakat, dan menyentuh semua lapisan, termasuk juga siswa, menjadi pemicu semakin rusaknya moral siswa. Hadirnya TV di setiap rumah, yang menyajikan berbagai tayangan yang tidak mendidik, film sinetron yang setiap saat dapat ditontong siapa saja dan kapan saja dengan geratis, sangat mudah mempengaruh pola pikir anak dan dapat membentuk karakter dengan meniru berbagai lakon yang ditampilkan olehmedia tersebut. Sehingga kecendrungan untuk gaya hidup mereka tidak lagi bercermin terhadap prilaku guru, leader, dan tokoh masyarakat, tetapi mereka lebih tren hidup dengan gaya artis, pemaen sinetron, atau foto model. Maka muncul pemandangan di mana-mana siswa berambut gondrong disemer sedemikian rupa, serta pola potong rambut gaya sinting, berpakaian extrim pakai celana jin bolong-bolong, memakai kaos bertuliskan bahas-bahsa tidak karuan atau nama geng

Hadirnya hand phone (HP) sekarang telah meresahkan siapapun yang prihatin dengan kondisi sosial masyarakat, termasuk juga moralitas siswa, sehingga menimbulkan reaksi masyarakat di negeri ini, hal ini yang mendasari lahirnya Undang-undangpemerintah tentang larangan menggunakan Hand Phone di sekolah yang masih menunggu persetujuan parlemin. Walaupun masih banyak yang menyangsikan akan efektifitasnya Undang-undang tersebut untuk mencegah pengaruh HP terhadap moralitas siswa, akan tetapi paling tidak telah ada upaya dari pemerintah untuk mencegah semakin parahnya pengaruh media informasi terhadap moralitas siswa.

Berbagai contoh prilaku yang menjadi cerminan buruknya moral siswa. Prilaku sek di kalangan siswa mulai dari tingkat sekolah menengah sampai mahasiswa, kerap saja terjadi, kejadian dalam bentuk pemerkosaan ataupun yang dilakukan suka sama suka. Prilaku ini merupakan hal yang amat tabu di mata masyarakat, sudah tidak lagi ditakuti untuk dilakukan oleh siswa. Larisnya penjualan kondom yang dilakukan oleh mayoritas para pelajar dapat berindikasi bahwa semakin banyaknya para pelajar yang berani melakukan sek di luar nikah.

Keterlibatan siswa dalam penggunaan obat terlarang amat memprihatinkan, bagaimana nasib bangsa ini ketika para pelajar kita sudah tidak bisa dikendalikan dalam penggunaan narkob, ketika mereka sudah kecanduan akan obat-obat yang menelerkan itu, mereka akan kesulitan untuk keluar, mereka sudah tidak bisa diharapkan dapat berfikir sehat. Tak dapat dibanyangkan apa yang akan terjadi negeri ini ketika telah sampai pada saatnya nanti mereka para generasi tersebut di atas memegang kekuasaan, menjadi penentu kebijakan.

Aksi kekerasan antar siswa di sekolah, baik itu yang terjadi dalam satu naungan lembaga ataupun yang terjadi antara sekolah dengan sekolah yang lain (tawuran). Ini menunjukkan bahwa pembinaan moral di masing-masing sekolah tersebut kurang dapat berpengaruh terhadap prilaku siswa, apapun alasannya ketika aksi kekerasan yang terjadi di sekolah, maka yang menjadi momok perbincangan adalah etika siswa.

Melanggar peraturan atau kebijakan sekolah, pelanggaran tatatertib oleh siswa di sebuah sekolah, bukan hal yang aneh, tetapi dalam setiap hari selalu ada siswa yang melanggar tatertib, yang paling kerap terjadi cara berpakaian mereka tidak lagi sesuai dengan apa yang telah menjadi ketentuan oleh sebuah sekolah. Kedisiplinan waktu sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan. Jika mereka melakukan pelanggaran dikarenakan ada alasan yang dapat diterima secara sah tidak ada persoaalan, akan tetapi sering kali terjadi di beberapa sekolah para siswa merasa bangga dengan melakukan pelanggaran tersebut, terbukti ketika teguran, peringatan dan bahkan sanksi dari guru BP atau kepala sekolah, tidak menjadikan mereka jerra, dan tidak jarang mereka semakin parah dan menunjukkan sifat dan tindakan yang kontrafersial.

Tindakan melawan orang tua, keberanian siswa terhadap orang tua, merupakan pelanggaran tehadap perintah agama, “jangan kamu katakan uf kepada kedua orang tua dan jangan kamu membentak, dan katakalah kepada mereka dengan lemah lembbut”semestinya siswa sebagai seorang anak bersikap lemah lembut, menuruti segala saran dan arahan dari orang tua, menjadikan orang tua sebagai sandaran dari segala kegiatan yang dilakukan.

Beberapa faktor di atas mencerminkan bahwa prilaku siswa tidak didasari oleh etika, ahlaq yang baik, sehingga mereka melakukan tindakan sesuai dengan keinginan hawa nafsunya. merekaberbuat tanpa memandang itu benar menurut agama, syari’ah atau sah menurut menurut tatakrama, adat istiadat masyarakat, mereka lebih memilih hidup nyentris kan kontrafersial.

Persoalan moral siswa ini sebenarnya tidak cukup hanya dibebankan kepada guru di masing-masing sekolah, demikian juga tidak cukup dipasrahkan kepada orang tua dirumah, akan terapi dari berberapa komponin harus bertanggung jawab untuk menyelesaikan.

Peran orang tua dalam hal ini cukup penting, karena pendidikan akhlaq ini semestinya dimulai dari sejak kecil mulai sejak baru dilahirkan seorang anak sudah harus diberi pendidikan akhlaq, karena pendidikan anak tentang akhlaq sejak kecil akan berpengaruh besar terhadap perkembangan anak ketika dewasa, pembentukan karakter anak harus sudah ditata mulai sejak dini, dengan memberikan contoh, atau uswah yang baik.

Ada seorang ulama spritual mengatakan “Kalau ingin anaknya menjadi orang yang shaleh, maka orang tuanya dulu menjadi orang shaleh” dari ungkapan diatas menunjukkan betapa besar pengaruh uswah dari orang tua kepada anak dalam mencetak prilaku anak, disamping menurut beberapa penelitian pengaruh orang tua terhadap anak dipengaruhi oleh faktor gen atau keturunan, tetapi unsur lingkungan dari keluarga juga tidak dapat dinafikan, karana ketersediaan waktu lebih banyak bergaul bersama orang tua ketimbang dengan lingkungan sekolah atau lainnya.

Pembentukan karakter oleh guru di sekolah yang selama ini menjadi bahan perbincangan seakan-akan sekolah merupakan satu-satunya faktor yang dapat memberikan pengaruh dalam pembentukan karakter siswa, karena cerminan etika itu kerap terjadi di lingkungan sekolah, dan itu yang selama ini sering menjadi bahan opini masyarkat, segala informasi yang menyangkut etika yang terjadi kepada anak di usis sekolah, maka pertanyaannya siswa mana ? jarang sekali yang menanyakan anak siapa ?, sehingga sangat besar harapan masyarakat akan peran gurus atau sekolah untuk menanamkan budi perkeri yang baik kepada siswa.

Ketika melihat peran guru yang cukup bersar, yang perlu diperbincangkan secara serius terlebih dahulu adalah peran lembag pendidikan secara umumdalam upaya memberikan ruang yang cukup luas untuk melakukan perbaik terhadap etika siswa. Dilihat kurikulum yang tersedia untuk itu selama ini sangat terbatas, di lembaga pendikan agama kurikulum yang diupayakan untuk melakukan penanaman moral hanya Aqidah Akhlaq dan PPkn. Apalagi di lembaga pendidikan umum akan lebih sedikit, karena pendidikan agama hanya disediakan 2 jam pelajaran dalam satu minggu.

Sejatinya persoalan etika siswa ini tidak hanya diperbincagkan di taatran pengelola pendidikan akan tetapi, keberpihakan kebijakan dalam lembaga pendidikan harus juga diarahkan untuk itu, dengan menyediakan waktu yang cukup, menyediakan kurikulum yang lebih sesuai dengan perkembangan etika. Sekedar contoh, kurikulum pendidikan aqidah akhlaq semestinya perlu di pisah antara pendidikan aqidah dan akhlaq, karena dengan pemisahan pendidikan aqidah dan akhlaq itu maka disamping akan memberikan ruang waktu yang lebih luas, juga akan dapat memberikan pemahaman aqidah secara khusus akhlaq yang berkaitan denga ilahiyat (Ahalaq terhadap Allah) dan akhlaq terhadap semama (Akhlaq Sosial) dan kemudian untuk pendidikan PPkn, adalah akhlaq hidup dalam sebuh Negara.

Demikian juga sebagai guru di sebuah lembaga pendidikan, semestinya memaikan perannya dalam membentuk karakter siswa yang biak, dengan memberikan uswah seperti yang disebutkan diatas. Dan hal ini tidak hanya dilakukan oleh guru yang mengajar mata pelajaran yang berkaitan dengan akhlaq akan tetapi oleh semua guru, karena dalam setiap mata pelajaran akhlaq itu harus dikekankan kepada siswa, sehingga dalam setiap mata pelajaran harus memuat unsur kognitif, afektif dan psikomotorik.

Disisi lain peran pemerintah dalam memberikan kebijakan termasuk tersedianya perundang-undangan yang mengarah terhadap perbaikan moral semestinya harus beriringan dengan perkembangan media yang semakin gila mempengaruhi pola hidup dan etika siswa, pemerintah tidak cukup mengukur akan upaya pencegahan itu dari buku-buku dan media pendidikan yang dapat dikonsumsi oleh para siswa, akan tetapi pengaruh global oleh media oinformasi harus juga diperhatikan dan dikendalikan.

Sekedar harapan : kalau kita jadi orang tua menjadilah orang tua yang baik dan mengupayakan anaknya menjadi orang yang berakhlaq baik dengan cara memberi uswah yang baik, hindarkan doktri pemikirin materialistis, agar anak tidak mengedepankan persoalan duniawi dari persoalan ukhrawi. Jika kita jadi guru marilah jadi guru yang biak yang selalu mengarahkan anak didik kita untuk berprilaku baik, dan menjaga anak didik kita untuk tidak berprilaku yang menentang agama, aturan dan tatkrama masyarkat. Aku yakin dengan peran orang tua dan guru bersama-sama persoalan etika akan segera diperbaiki.

Saka’ dinto

Dungek, 09 Januari 2011

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun