Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Qaddafisme, Sosialisme Islam yang Mengecewakan

31 Oktober 2011   22:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:13 251 0
Moammar Qaddafi Dimuat di Memo Timur, Senen, 31 Oktober 2011 Selama tiga tahun tinggal dan studi di Libya, penulis memiliki perspektif lain terhadap Qaddafi: pemimpin nyentrik dengan rambut kriting yang semrawut, di tubuhnya selalu melekat pakaian adat, kumis yang terkadang terlihat tidak kelimis, dan tinggal di dalam tenda di gurun sahara:  ia ingin tampak sebagai bagian dari rakyat yang melarat. Qaddafi lahir dan berkembang di suatu masa, di suatu tempat, yang tunduk pada Barat. Qaddafi yang mendapatkan pendidikan militer dari Inggris, akhirnya jadi senjata makan tuan: Qaddafi telah mengubah segalanya, sejak revolusi 9-9-1969. Dalam sekejap warga Barat dikeluarkan dari negeri Imam Qalun, dan ia sulap sistem pemerintahan negara monarkhi jadi sistem sosialis-demokratis. Bagi yang pernah menelusuri jalan di Libya pasti tidak asing dengan jargon ”La dīmaqrāthiyyata illā bi al-mu’tamari al-sya’biyyi” (tidak ada demokrasi tanpa pemilu) yang terpampang di sepanjang jalan. Ia mengidamkan sosialisme karena, mengutip Goenawan Mohamad, sosialisme identik dengan masa depan, dan masa depan identik dengan sesuatu yang gemilang. Tapi Qaddafi tidak taqlīd buta pada sosialisme mazhab Marxisme, ia merumuskan sosialisme Islami. Ia tuangkan gagasan besarnya dalam ”Kitab Hijau” (Kitāb al-Aḥdlar). *** Qaddafi lahir ketika penguasa Libya tak punya taring terhadap intervensi pihak asing: Libya telah resmi merdeka tapi tetap tak bisa lepas dari bayang-bayang pihak asing. Maka, ketika naik ”tahta” dalam usia remaja, ia segera mewujudkan gagasan-gagasannya, yang ia sadari telah terpengaruh oleh Presiden Mesir, Gamal Abdel Naseer: Ia mengidamkan, sebagaimana penulis katakan di atas, sosialisme Islam dan pan Islam. Revolusi gemilang ini pun ia persembahkan pada tokoh yangia kagumi itu, ”Beritahu kepada Presiden Nasser, revolusi ini kami bikin untuknya. Presiden Gamal Abdel Nasser bisa ambil apa saja kepunyaan kami, lalu digabung  dengan apa saja yang ada pada negara-negara Arab lainnya,” kata Qaddafi pada Mohamad Hassanein Heikal, Pemred al-ahram, yang secara khusus datang ke Benghazi untuk menemui Qaddafi. *** Tidak banyak pemimpin negara yang produktif menulis, dan Qaddafi berada di barisan minoritas itu. Diantara karya Qaddafi yang fenomenal ialah Kitāb al-Aḥdlar. Buku ini merangkum gagasan-gagasan besar Qaddafi untuk dunia ketiga dalam bidang poltik dan ekonomi. Ia juga tidak melewatkan isu-isu seputar emansipasi wanita. Salah satu catatan Qaddafi dalam Kitab Hijau menyebut tidak ada perbedaan antara wanita dan pria; keduanya sama-sama manusia yang juga memiliki hak yang sama. Membedakan laki-laki dan perempuan, kecuali perbedaan yang fitrah, bagi Qaddafi, adalah kezaliman yang tidak dibenarkan. Maka, Qaddafi membuka belenggu kaum Hawa yang dipasungkan Raja Idris terhadap mereka: ia memberikan kebebasan wanita untuk berkarir di ruang publik seperti pria. Bahwa manusia memerlukan kebebasan. Dan, kebebasan manusia itu terciderai bila orang lain menguasai kebutuhannya. Memalui Kitab Hijaunya, Qaddafi berteriak-teriak ke penjuru negeri, ”Memiliki rumah adalah keniscayaan baik bagi personal maupun keluarga. Manusia tidak memiliki kebebasan bila tinggal di rumah orang lain baik dengan atau tanpa upah.” Yang menarik ialah Qaddafi membatasi pemilikan rumah, dan melarang warga asing untuk ”memiliki” meski sejengkal saja tanah Libya. Sosialisme baru (al-isytirāki al-jadīd; sebutan Qaddafi terhadap teori sosialismenya) adalah menciptakan masyarakat yang bahagia karena mereka merdeka. Semuanya bisa terwujud bila kebutuhan materi dan immateri terpenuhi, dengan terbebasnya semua kebutuhan dari intervensi dan penguasaan orang lain. *** Bulan Desember 2009: saya dirawat di rumah sakit Tripoli. Di dalam kamar yang dihuni tiga orang dari tiga negara berbeda–Indonesia (penulis), seorang tenaga kerja asal Mesir, dan warga pribumi—saya merasakan pelayanan yang berbeda: dengan pelayanan gratis, warga pribumi lebih mendapatkan prioritas dan pelayanan yang ’wah’ dibandingkan warga asing yang berbayar. ”MRI saya akan dikirim ke Jerman. Dokter di sana yang menganalisa penyakit saya, baru hasilnya dikirimkan kembali ke Tripoli,” kata warga Libya yang bekerja sebagai insinyur lingkungan itu. Sungguh berbeda dengan pelayanan kesehatan untuk orang miskin di negara kita. Tampak bahwa Qaddafi begitu memperhatikan kebutuhan rakyatnya: ia memberikan pendidikan gratis bagi generasi muda (bahkan mengirimkan mahasiswa berprestasi ke Eropa) dan pengobatan gratis bagi si sakit, dan fasilitas-fasilitas gratis lain bagi warga Libya. Bulan Februari 2011. Qaddafi menggelar multaqā al-taṣawwuf al-‘alāmi al-thani (symposium mursyid tarekat sedunia yang kedua) dan maulid nabi Saw. Acara maulid merupakan program safari-relegi tahunan Qaddafi. Ia melakukan perayaan maulid dengan mengundang tokoh-tokoh agama sedunia. Istimewanya, tidak hanya sekte-sekte yang biasa merayakan maulid yang hadir dalam acara ini, tapi kelompok yang membidahkan perayaan maulid pun aktif hadir. Perayaan maulid ini yang sedianya dirayakan di Mesir, terpaksa dipindah ke Baidlā’. Namun, pemimpin nyentrik itu kurang beruntung sebagaimana tahun lalu kesuksesannya merayakan maulid di Benghazi (basis oposisi), masyarakat Baidlā menolak wilayah mereka ditempati perayaan maulid nabi oleh rezim Qaddafi. Akhirnya, Qaddafi merayakan maulid nabi di belakang asrama mahasiswa International Islamic Call College. Qaddafi sadar bahwa Arab Spring telah merambah kawasan Afrika Utara, dengan tumbangnya dua pemimpin ”abadi” dua negara tetangga oleh people power: Zaen al-Abedeen Ben Ali dan Hosni Mobarak, maka ia mengerahkan loyalisnya untuk meneriakkan yel-yel kesetiaan terhadapnya. Ceramahnya pun tidak segalak tahun lalu: Qaddafi menabuh genderang perang terhadap Swiss yang melarang pembangunan Menara Masjid. Dalam perayaan kali ini, Qaddafi hanya menguraikan kenapa ia menggunakan bendera warna hijau, bukan bendera yang dipakai Raja Idris (yang sekarang dikibarkan kembali oleh oposisi). Singkatnya, Arab Springyang membuat bulu kuduknya: ia mencoba menanamkan nasionalisme rakyatnya. Namun, rupanya ia gagal. Saat sang kolonel mulai angkat bicara banyak rakyatnya yang angkat kaki dari tempat acara. Mungkin rakyat kecewa dengan Qaddafisme (istilah penulis untuk menyebut sosialisme islam) yang menuangkan teori-teori gemilang tapi nihil di lapangan. Atau mereka sudah muak dengan gaya sang penghuni tenda badui itu. Bola salju anti-Qaddafi mulai menggelinding sejak 17 Februari dengan penjarahan gudang senjata di gurun Benghazi yang memaksa pria yang selalu berpakaian unik untuk menerbangkan pesawat untuk melindungi gudang senjata dari jarahan ”perampok” di siang bolong. Dan, sekarang bola salju telah menggulung pemimpin yang berkuasa selama 42 tahun itu dari tendanya yang berujung pada kematian yang menyedihkan: ia yang lahir di sebuah tenda suku badui di gurun sahara meninggal menyedihkan setelah disiksa (diantaranya disodomi dengan bayonet). Kini, kita hanya menunggu sejarah, apakah pidato terakhirnya akan terwujud, atau terkubur bersama mayatnya: ”Jika Qaddafi mati sebagai syahid, akan lahir jutaan Qaddafi. Qaddafi hanya manusia, dan manusia pasti mati. Tapi Qaddafi punya pemikiran dan panji-panji: pemikiran tak akan mati dan panji-panji tidak akan jatuh.” Diarsipkan di http://www.muntahaafandi.web.id/qaddafisme-sosialisme-islam-yang-mengecewakan.html

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun