Bahasa Indonesia Itu Biasa. Masa?
Kesan pertama biasanya menggoda, tetapi tidak pada masa kuliah. Kesan pertama biasa saja. Kesan kedua malah aneh. Melirik banyaknya mata kuliah yang aduhai ... apa ini? Sastra mistik? Filologi? Sastra Feminis? Linguistik? Semantik? Sintaksis? Rasanya makin tidak yakin. Ketidakyakinan ini menjadi teman setia semasa kuliah. Hanya bermodal gamang, tetapi tetap mau mendengarkan, mencatat, dan mengerjakan tugas, eh ... nilainya nggak mengecewakan. Lagi-lagi, sebenarnya saya tidak terlalu menjiwai apa yang saya pahami. Saya hanya menghafal. Pada masa tertentu, semua itu akan gampang pudar dan saya tak ingat lagi.
Melewati berbagai mata kuliah, bahasa Indonesia itu masih biasa dalam pandangan saya. Namun, saya penasaran. Kalau memang biasa saja mengapa ada jurusan khusus semacam ini, termasuk sastranya. Akhirnya, yang membuat saya sedikit menyanjungnya adalah ketika membaca puisi-puisi sastrawan Indonesia. Mulai dari Chairil Anwar, Goenawan Mohammad, Taufik Ismail, Sapardi Djoko Damono, sampai Remy Silado, yang salah satu bukunya "Puisi Mbeling" pernah saya jadikan bahan skripsi dengan metode penelitian Semiotika.
Setelah membaca puisi-puisi mereka, ada yang menggugah perasaan dan pikiran saya. Puisi seindah ini tak hanya buah perenungan dan pergulatan diksi penyairnya, tetapi juga nilai estetik dari diksi bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia punya emas yang berkilauan berupa kata-kata yang sarat makna ketika kita bisa menggunakannya dalam konteks, suasana, nilai, dan ekspresi yang tepat. Sedikit merenungkan hal ini, akhirnya saya mendapatkan sedikit pencerahan tentang kebosanan dan ketidaktertarikan saya pada bahasa Indonesia.