“ Seto…anak keparat, kurang ajar kamu ya, berani-beraninya kamu makan ayam goreng di lemari itu! Dasar anak genderewo, selalu saja kelaparan. Kamu kan sudah ku kasih makan tadi. Sarap memang kamu ya” aku kesal bukan kepalang, ku tampar saja mulut kecil yang beracun itu. Tadi sore sepulang kerja, teringat goreng ayam yang aku simpan di lemari untuk makan malamku, perutku keroncongan dan semangat membayangkan kelezatan makan malam spesial hari ini. Tapi kenyataannya ‘Jauh panggang dari api’ ayam goreng lenyap tak berbekas masuk di perut si Seto anak tak tahu diri itu. Aku benci bukan kepalang kepada Seto. Bertambah muak lagi ketika semua orang mengatakan wajah Seto mirip sekali denganku, matanya, hidungnya, bahkan warna kulitnya. Seto berumur enam tahun, dia tak bersekolah. Aku tak mau pusing dengan urusan sekolahnya, sekolah jaman sekarang sangat mahal. Aku tak peduli dia bisa membaca atau tidak, sudah ku beri makan saja harusnnya dia bersyukur. Aku mengontrak rumah kos berderet sepuluh kamar; kami sama-sama kenal satu sama lain, jadi aku tak khawatir meninggalkan Seto sendirian di rumah. Suamiku bekerja jadi pelayan di toko sepatu kenalan ibunya, setiap hari dia pulang jam sepuluh malam.