Dalam perspektif konstruktivisme, identitas negara memengaruhi kebijakan luar negerinya. Sebagai negara berkembang dengan sejarah panjang di gerakan non-blok, Indonesia membawa identitas tersebut dalam kepemimpinannya di G20. Melalui moto “Recover Together, Recover Stronger",Indonesia mengedepankan solidaritas global untuk menciptakan pemulihan ekonomi yang inklusif, mencerminkan komitmennya terhadap kolektivitas dan keberlanjutan yang menguntungkan baik negara maju maupun berkembang. Â
Pendekatan konstruktivis ini juga terlihat dalam upaya Indonesia menyeimbangkan berbagai kepentingan di G20, termasuk negara-negara yang terlibat konflik geopolitik seperti Rusia dan negara-negara Barat. Sebagai mediator yang netral sekaligus pemimpin, Indonesia mendorong dialog berbasis norma dan nilai universal. Contohnya, Indonesia mengangkat isu-isu global seperti transisi energi, ketahanan pangan, dan kesehatan, yang relevan bagi seluruh negara, menunjukkan keyakinannya bahwa kolaborasi berbasis norma mampu mengatasi perbedaan kepentingan. Â
Indonesia juga memanfaatkan pendekatan konstruktivisme untuk membangun citra internasionalnya sebagai negara yang dapat menjembatani perbedaan. Dengan posisi strategis di antara negara maju dan berkembang, Indonesia menciptakan ruang dialog yang inklusif di G20. Identitasnya sebagai negara yang mengedepankan multikulturalisme dan toleransi menjadi aset penting dalam memperkuat diskusi global. Â
Melalui pendekatan konstruktivisme, Indonesia tidak hanya membawa G20 menuju hasil konkret, tetapi juga memperkuat perannya di dunia internasional. Dengan mendorong kerja sama multilateral berbasis nilai dan norma, Indonesia membangun kepemimpinan global yang relevan. Keberhasilan ini menunjukkan bahwa konstruktivisme, yang menekankan identitas, norma, dan nilai, memainkan peran penting dalam membentuk politik luar negeri yang adaptif, berpengaruh, dan berorientasi pada kepentingan bersama. Â