Mohon tunggu...
KOMENTAR
Kebijakan Pilihan

Nadiem Babak Belur karena Dana Hibah

30 Juli 2020   09:02 Diperbarui: 30 Juli 2020   08:58 267 6
Kedudukan Nadiem yang notabene non partisan atau dari kalangan profesional mengisi jabatan prestisius seperti Mendikbud menurut Penulis terlalu riskan rentan akan goncangan ketimbang mereka yang mewakili partai.

Tentu publik bisa perhatikan ketika aplikator Gojek menyediakan layanan digital guna membayar Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP), sontak tak sedikit pihak yang menuding Nadiem telah memanfaatkan jabatannya. Angin kencang itu pun reda setelah pihak Gojek maupun Nadiem mengklarifikasi isu tersebut.

Lama berselang nama Nadiem kembali terseret ketika Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah dan Lembaga Pendidikan Ma'arif Nahdlatul Ulama (NU) menyatakan mundur dari Program Organisasi Penggerak (POP) yang diluncurkan oleh Kemendikbud.

Dikutip dalam laman Kompas, POP yang Kemendikbud luncurkan pada 10 Maret 2020 merupakan program pemberdayaan masyarakat secara masif melalui dukungan pemerintah untuk peningkatan kualitas guru dan kepala sekolah berdasarkan model-model pelatihan yang sudah terbukti efektif dalam meningkatkan kualitas proses pembelajaran dan hasil belajar siswa.

Pelaksanaan POP dilakukan dengan melibatkan sejumlah organisasi kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, terutama organisasi-organisasi yang memiliki rekam jejak yang baik dalam implementasi program pelatihan guru dan kepala sekolah.

Dalam cakupannya ormas yang disetujui proposalnya oleh Kemendikbud akan mendapatkan bantuan (yang terbagi menjadi 3 kategori) yang kemudian akan disalurkan dalam dua tahap pada tiap tahun anggaran berdasarkan hasil evaluasi berkala dari Kemendikbud.

Singkat kata POP ini menjadi polemik karena selain alasan tidak jelasnya klasifikasi ormas yang mendapatkan bantuan dana POP dan dugaan kejanggalan dalam proses verifikasinya, anggaran dari POP ini juga dipandang dapat dialokasikan untuk keperluan lain yang lebih mendesak di bidang pendidikan saat pandemi sekarang ini.

Namun menurut Penulis pribadi keterkaitan yayasan konglomerat dimana disinyalir ikutserta menikmati dana POP ini kuat dugaan mengapa sampai Nadiem babak belur jadi sasaran.

Hal tersebut kiranya terpapar dalam acara diskusi di sebuah stasiun televisi swasta membahas polemik soal POP ini. Diskusi yang sejatinya membahas apa inti permasalahan POP justru seperti distir menjadi konfrontasi elit politik.

Dalam acara itu sosok Nadiem bak seperti dikuliti layaknya seorang pesakitan. Jelang satu tahun kinerjanya dikritik dan dipermalukan, bahkan sampai kepada sosok Jokowi yang memilihnya (Nadiem) tak luput jadi sindiran.

Sontak melihat hal tersebut Penulis merasa aneh, dalam benak Penulis mungkin baru pertama kali ada pihak-pihak yang mempeributkan sosok seorang Menteri mengatasnamakan pendidikan karena polemik dana hibah sekitar Rp.595 miliar.

Penulis sebagai masyarakat awam pun sempat kepikiran, apakah polemik dana POP ini sejatinya ada keterkaitan dengan isu reshuffle kemarin dimana nama Nadiem Makarim menjadi salah satu Menteri yang digadang-gadang bakal digantikan.

Anggaplah kala itu Nadiem benar-benar jadi korban reshuffle, lantas kiranya apa mungkin timbul polemik dana POP ini? Entah, apa mungkin itu benar ataukah hanya kebetulan saja.

Merujuk kepada permasalahan pendidikan saat pademi, Penulis berpesan jangan hanya Not Action, Talk Only. Mengkritisi sih boleh-boleh saja, tapi sewajarnya.

Jangan semangat menyelesaikan permasalahan pendidikan saat pandemi hanya di inisiasi permasalahan dana hibah. Padahal kita tahu, jauh-jauh hari sebelum pandemi Covid-19 terjadi prihal infrastruktur teknologi informasi di Indonesia memang belum sepenuhnya menjangkau seluruh wilayah Indonesia. Lantas datang pandemi Covid-19 maka pertanyaannya apa bisa menyelesaikan permasalahan tersebut layaknya membangun candi dalam satu malam?

Pembelajaran jarak jauh merupakan opsi yang masih memungkinkan proses belajar dan mengajar masih dapat berjalan. Suka tidak suka, siapapun harus bisa menerima kenyataan tersebut.

Benar, pembelajaran jarak jauh tidak optimal di mana tidak adanya interaksi tatap muka secara langsung antara guru dan murid dalam proses belajar mengajar. Apapun di balik alasan ketidaksetujuan akan pembelajaran jarak jauh yang jadi inti permasalahannya apakah ada opsi yang lebih baik dari itu ketimbang memaksakan murid dan guru masuk sekolah saat pandemi?

Jadi ketimbang ribut-ribut, cobalah bantu berikan solusi. Jangan cuma bisanya jadi pengamat dan hanya gemar mengkritik saja. Nadiem itu sebatas manusia dan ia bukanlah Tuhan.

Demikian artikel Penulis. Mohon maaf bilamana ada kekurangan dikarenakan kekurangan dikarenakan kekurangan milik Penulis pribadi. Terima kasih.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun