Ada apa sebenarnya dengan budaya ketimuran yang masyarakat Indonesia miliki, apakah budaya lokal tidak mempunyai daya tarik sebagaimana walau tidak diangkat sebagai film layar lebar kisah asmara Sitti Nurbaya dan Samsul Bahri dari tanah minang begitu menghibur atau sinetron Si Doel Anak Sekolahan kiranya hingga saat ini masyarakat masih terkenang akan ceritanya. Sisi-sisi kehidupan malam, seks bebas, hidup mewah dan glamor yang kini banyak merambah perfilman nasional seperti dipaksakan untuk dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Budaya ketimuran yang kita miliki sebagaimana pribadi-pribadinya yang ramah dan santun apakah memang telah hilang sehingga insan-insan perfilman saat ini menganggap bukan itu yang diminati oleh masyarakat.
Disaat bersamaan pemerintah menggelar sebuah kampanye dengan mencetuskan slogan "ayo nonton film Indonesia", menurut Penulis nampaknya akan sangat sulit terealisasi dalam waktu dekat. Selama film-film lokal tidak menunjukkan kemajuan baik ide, konsep cerita, dan kualitas peran maka masyarakat akan tetap mengidolakan film produksi luar negeri. Kiranya wajar pula bilamana ada penolakan mengenai pembatasan kuota film luar negeri di bioskop-bioskop tanah air, bagaimana tidak kalau film lokalnya sendiri tidak bermutu. Berusaha dicintai, kok begitu (kualitasnya)? Demikian artikel Penulis, mohon maaf bilamana ada kekurangan dikarenakan kekurangan milik Penulis pribadi. Semoga bermanfaat dan terima kasih.
Artikel terkait :
Industri Kreatif Perfilman Nasional yang Maju Perlahan