Suara sinyal khas perlintasan kereta api (KA) memekak memberi tanda ular besi segera melintas. Suara itu diikuti gerak patah-patah palang KA menutup Jl Slamet Riyadi, jalan protokol di Kota Solo. Dalam hitungan detik, kendaraan sudah menumpuk di dua sisi perlintasan KA Purwosari.
Suara sinyal khas perlintasan KA sudah digantikan dengan suara klakson kendaraan yang saling sahut-menyahut. Untuk beberapa saat kepadatan lalu lintas belum terurai. Semua ingin melaju lebih dahulu meninggalkan kemacetan yang menjengkelkan.
Jalan Slamet Riyadi yang menjadi jalan utama di Kota Bengawan ini tak pernah sepi dari kendaraan. Kepadatan akan semakin meningkat pada jam-jam padat, seperti siang hari. Dengan sepeda, aku menyusuri jalan lurus sepanjang sekitar 5 km dari Kleco hingga Gladak. Bukan melintas di jalur cepat dengan empat ruas, tapi jalur khusus sepeda yang berada di sisi utara jalan menjadi pilihanku.
Jalur khusus sepeda Jl Slamet Riyadi dimulai dari Pasar Kleco yang menjadi pintu masuk Kota Solo dari arah Semarang ataupun Jogja. Siang itu, aktivitas perdagangan di depan pasar masih ramai hingga sebagian jalur sepeda termakan untuk berdagang atau parkir. Akhirnya jalur sepeda dengan lebar sekitar dua meter itu hanya menyisakan separuh jalan untuk becak dan sepeda yang berlalu lalang.
Perjalanan terus berlanjut, Pasar Kleco sudah ditinggalkan. Di depan, jalan bergelombang dari Kleco hingga simpang tiga Faroka menjadikan pinggul dan pantat selalu bergoyang. Belum lagi, genangan air sisa hujan juga menjadi pemandangan lumrah di jalur sepeda ini. Mendekat simpang tiga Faroka, pesepeda harus berkelit, bukan melawan kendaraan lain, tapi sebagian jalur sepeda sudah digunakan untuk pangkalan taksi dan pedagang kaki lima.
Jalur sepeda dari simpang tiga Faroka hingga Purwosari sedikit lebih ramah bagi pesepeda ataupun abang becak. Jalanan relatif baik dan sepi dari penyerobotan untuk lahan parkir ataupun PKL. Tapi perjalanan menantang menyusuri jalur sepeda baru akan dimulai dari Purwosari hingga Gladak.
Dimulai dari Stasiun KA Purwosari dan berakhir di Tugu Slamet Riyadi di Gladak, detak kehidupan Solo terlihat. Pusat perbelanjaan, perbankan, kantor-kantor pemerintahan, hotel, rumah tahanan hingga pertokoan berderet rapat di tepi jalan sepanjang 3,6 km ini.
Jangan berharap ada aspal mulus berhotmix ketika melintasi jalur sepeda. Meski jalur utama dan jalur sepeda hanya dibatasi oleh median jalan, terlihat jelas kualitas aspal yang digunakan berbeda. Jalur utama begitu mulus dengan aspal hotmix. Sedangkan jalur sepeda, sebagian aspalnya sudah mengelupas, entah kapan terakhir kali ditambal menimbulkan kesan diskriminasi pengaspalan jalan.
Di sepanjang jalur Purwosari-Gladak, pesepeda tidak hanya beradu dengan tukang becak yang sering menjadi “raja jalanan”, tapi juga harus berbenturan dengan tukang parkir yang punya kuasa penuh mengamankan lahan parkirnya di jalur sepeda. Harus pula berhadapan dengan gerobak-gerobak pedagang di tepian jalan dan sopir taksi yang kadang seenaknya membuka pintu mobil di pangkalan taksi. Belum lagi pengguna kendaraan bermotor yang hendak keluar atau masuk toko, hotel ataupun pusat perbelanjaan sering memotong jalur sepeda dengan gelap mata. Seperti menganggap jalur sepeda itu tak pernah ada.
Sarana pendukung jalur khusus sepeda sebenarnya telah ada. Di setiap simpang empat ada trafficlight khusus untuk sepeda dan rambu tanda arah agar sepeda melintasi jalur sepeda. Di beberapa lokasi ada pula tanda larangan parkir bagi kendaraan, tapi sepertinya rambu larangan parkir itu sekadar pajangan. Rimbunnya pohon di sepanjang jalan ini juga menjadi nilai lebih jalur sepeda Jl Slamet Riyadi. Perjalanan bersepeda menjadi lebih adem dan terlindung dari sengatan matahari.
Jalur sepeda Jl Slamet Riyadi ini menjadi potret warga kelas dua di negeri ini terpaksa harus saling beradu. Pesepeda, tukang becak, PKL, tukang parkir, sopir taksi, kadang pejalan kaki bersaing memperebutkan lahan yang hanya secuil itu. Pesepeda dan tukang becak merasa paling berkuasa di jalan itu karena merupakan jalur itu khusus disediakan untuk mereka. PKL, tukang parkir dan sopir taksi bertahan di jalur sepeda demi mempertahankan hidup. Pejalan kaki terpaksa ikut melebur di jalur sepeda karena trotoar kadang habis dikuasai PKL. Mereka adalah warga kelas dua yang selalu tersisihkan dari gerak laju kehidupan.