Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Solo-Jogja, Antara BST, Prameks & Trans Jogja

31 Desember 2010   08:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:09 349 0
Pagi ini saatnya melawan dinginnya air. Mandi terpagi selama beberapa bulan terakhir demi petualangan naik angkutan massal yang katanya bisa menyatukan dua kota, Solo-Jogja.
Batik Solo Trans (BST). Angkutan massal ini menyapa publik Solo dan sekitarnya sejak beberapa bulan yang lalu. Banyak pihak berharap angkutan ini bisa menjadi angkutan alternatif bagi publik yang bosan dan jengah dengan angkutan kota konvensional.
Apek, pengap, ugal-ugalan dan sarang copet. Itulah gambaran umum angkutan kota di negeri ini. Bagi Pemkot Solo, BST adalah sebuah proyek besar sistem transportasi di Kota Bengawan. BST diharapkan bisa menjadi pengganti angkutan kota yang memang sangat menyebalkan.
Selter warna biru dengan kaca nako hitam berdiri lesu di depan RSI Yarsis Kartasura. Tak ada satu orang pun petugas yang membantuku memberitahu tentang rute bus. Maklum ini adalah pengalaman pertamaku naik BST. Nekat dan tekadlah yang membuatku tetap bertahan di selter itu menunggu datangnya BST.
Bus warna biru dengan nuansa batik akhirnya datang juga. Hanya ada 2 penumpang di dalam bus itu. Suasana lapang begitu terasa. Alunan musik dari Andra and The Backbone menjadi teman perjalanan. Jadi nyaman aku dibuatnya. Selter di Kleco di depan mata. Lagi-lagi selter itu sepi dari petugas. Bus yang hendak melaju akhirnya kembali karena ada 3 penumpang yang lari-lari mengejar bus itu.
Ini lucu pikirku. Bus yang memiliki sarana khusus dengan disediakan selter masih harus maju mundur menunggu penumpang. Setahuku jadwal bus ini sudah diatur sehingga jarak antara satu bus dengan bus lainnya bisa disesuaikan. Petugas yang menjadi kondektur mulai beraksi. Dia mengadahkan tangan minta bayaran. Rp 3.000 tarifnya. Aku diberi karcis tanda bukti pembayaran.
Ini membingungkan. Katanya angkutan massal modern, tapi model pembayaran penumpangnya masih "kampungan" dan rawan kebocoran. Bayar di atas bus pakai karcis.
Di selter Faroka bus kembali berhenti. Tidak mulus rupanya. Bus AKAP menghalangi BST untuk mendekati selter. Tanpa rasa berdosa, bus AKAP itu dengan santainya menurunkan penumpang tepat di depan selter. Butuh beberapa menit, sopir bus AKAP akhirnya memberi ruang untuk BST.
Aku kembali tertegun. Bus ini berhenti agak lama di selter itu. Rupanya gaya konvensional belum juga hilang untuk bus modern ini. Ngetem sejenak menunggu penumpang, meski pada akhirnya total penumpang tak lebih dari 10 orang.
Aku berhenti di selter Purwosari. Ada petugas jaga di selter itu. Ada poster yang menunjukkan rute BST, ada pula digital ruuning teks tentang jadwal pemberangkatan BST. Agak lumayan dibandingkan selter lainnya.
KA Prameks tujuan Jogja dari Stasiun Purwosari sudah mau berangkat. Tepat saat kaki ini menginjak tangga KA, pluit berbunyi dan KA yang penuh sesak itu segera berlari. Sudah biasa tiap akhir pekan atau liburan, penumpang akan uyel-uyelan, tapi kecepatan dan kondisi Prameks masih lumayan sehingga perjalanan tetap terasa nyaman.
Tak lebih dari satu jam perjalanan, aku sudah tiba di Stasiun Maguwoharjo. Stasiun ini terintegrasi dengan Bandara Adisucipto dan selter Trans Jogja. Nah, Trans Jogja yang merupakan kakaknya BST (karena lebih dahulu beroperasi) yang akan aku tumpangi. Petugas tiket menyodoriku smartcard setelah aku menyerahkan uang Rp 3.000. Smartcard itu dimasukkan ke pintu masuk agar bisa terbuka. Ini mirip dengan model busway di Jakarta yang sempat aku tumpangi beberapa tahun lalu.
Selain petugas jaga loket pembayaran ada pula petugas lainnya yang membantu memberitahukan kedatangan Trans Jogja beserta rutenya. Kalaupun malas bertanya, ada pula papan pengumuman jalur-jalur Trans Jogja.
Model Trans Jogja sama persis dengan BST, tapi sepertinya Trans Jogja lebih ramping sehingga kalau penumpang penuh akan begitu terasa berdesak-desakan. Dan kenyataannya, Trans Jogja selalu dijejali penumpang. Tak ada lagu pengiring selama perjalanan sehingga penumpang akan sibuk dengan dunianya sendiri-sendiri. Untungnya di dalam bus, penumpang tak perlu lagi berurusan dengan sodoran tangan kondektur yang minta bayaran.
Beberapa selter Trans Jogja sudah terlewati. Setiap kali mendekati selter, kondektur dengan nyaringnya memberitahukan selter akan segera tiba. Tak lupa pula ada ucapan terima kasih dari sang kondektur itu. Ini juga sama persis dengan busway di Jakarta. Bedanya, kalau busway pakai alat seperti speaker, di Jogja pakai suara manusia.
Rasanya memang kondektur itu ditugaskan seperti itu, mengatur penumpang di dalam bus dan mengabarkan selter-selter yang dilalui, tanpa harus repot memunggut pembayaran penumpang di dalam bus layaknya bus kota pada umumnya.
Di Subterminal Condong Catur perjalananku dengan Trans Jogja terhenti. Lumayan menikmati perjalanan dengan angkutan massal yang katanya lebih modern dari angkutan umum lainnya.
Aku tidak bermaksud membandingkan antara BST dengan Trans Jogja. Aku hanya mencoba menelusuri angkutan massal yang digadang-gadang bisa menyatukan Solo-Jogja yaitu BST-Prameks-Trans Jogja. Kalaupun ada yang berbeda antara BST dan Trans Jogja, aku tidak tertarik membahasnya lebih lanjut mengapa itu terjadi. Kalau memang angkutan massal itu saling terintegrasi seharusnya pelayanannya sama hingga pada akhirnya publik juga yang merasakan keuntungannya.
Maka kalau kebetulan liburan di Solo atau Jogja, BST atau Trans Jogja bisa jadi alternatif perjalanan keliling kota. Takutnya, kalau naik kendaraan pribadi malah menambah kemacetan dan kemacetan begitu menjengkelkan. Selamat Liburan!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun