Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Hari Ini, 65 Tahun Lalu...

16 Agustus 2010   13:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:59 85 0

Seperti hari-hari sebelumnya, kelelahan benar-benar mendera Nasrulah malam ini. Jurnalis muda di sebuah koran lokal di Solo ini langsung tergolek lemas di kamar kosnya di pinggiran Kota Bengawan.

Dilemparkan tubuhnya di kasur yang apek. Membaringkan badan, menyelonjorkan kaki dan melemaskan otot-otot setelah seharian bekerja selalu dilakukannya untuk mengobati kelelahan yang semakin menjadi-jadi akhir-akhir ini. Menjalankan puasa yang sudah menjadi kewajibannya tak melunturkan semangat Nasrulah untuk tetap bekerja seperti biasa, dari pagi hingga malam tiba.

Setelah sekian menit Nasrulah mencumbui kasurnya yang apeknya luar biasa karena sprei jarang dicuci, kasur jarang dijemur, tubuh kurusnya bangkit. Tangannya menyambar handuk. Saatnya membersihkan debu-debu jalanan yang menempel di tubuh setelah seharian beraktivitas. Apalagi cuaca Solo akhir-akhir ini panasnya minta ampun. Guyuran air biasanya bisa memulihkan kembali tenaga yang tersisa.

Sudah menjadi kebiasaan Nasrulah, sehabis mandi langsung dia mengambil air wudhu untuk menunaikan Salat Isya. Apalagi, ini bulan Ramadan, dia juga harus menunaikan Salat Tarawih. Tuntutan pekerjaannyalah yang mengharuskan Narsulah tidak bisa berkumpul bersama umat Islam lainnya menunaikan Salat Isya dan Tarawih secara berjamaah di masjid. Di koran tempatnya bekerja kini, Nasrulah memang memiliki pekerjaan ganda.

Pagi hingga sore, dia bekerja mencari berita. Kebetulan dia ditugaskan di desk politik. Dan sudah tiga bulan terakhir ini, dia punya tugas dobel, mencari berita dan menjadi pengelola halaman. Malam hari, dia harus mengedit berita dan mengerjakan satu halaman koran. Deadline, halaman yang diampunya kebetulan bertepatan dengan waktu Salat Isya dan Tarawih.

Rakaat demi rakaat dilaluinya, sekhusyuk mungkin. Bagi Nasrulah, paling tidak dia tetap menghadap Sang Kuasa meski tak bisa menyatu dalam kegembiraan Ramadan di masjid. Sarung dan sajadah sudah dilipat rapi, Nasrulah kembali merebahkan tubuhnya di kasur mungilnya. Kaki selonjor dan tangan dilipat mengganjal kepalanya yang kadang-kadang terserang migran tanpa kenal waktu. Kantuk itu datang begitu cepat. Mungkin karena dia terlalu capai.

***

Nasrulah kaget. Kesadarannya belum sepenuhnya pulih ketika suara ketukan terdengar dari pintu kamar yang lupa dikuncinya. Belum ada satu jam dia memejamkan mata, tapi suara ketukan yang terdengar tergesa-gesa dan mendesak itu membangunkannya.

Dibukanya pintu itu dengan malas-malasan. Kekagetannya semakin menjadi-jadi. Di depan pintu berdiri lelaki paruh baya yang tidak dikenalnya. Rambutnya klimis disisir ke belakang. Jas warna hitam dengan hem putih membalut tubuh laki-laki itu. Kekagetannya belum mereda, tapi laki-laki paruh baya itu sudah menyodorkan tangannya mengajak bersalaman. “Chaerul Saleh,” katanya sambil memegang erat tangan Nasrulah.

Spontan Nasrulah menyebut namanya dalam jabat tangan itu. Tangan kiri Nasrulah mencoba mengucek-ucek matanya untuk memastikan apakah dirinya sedang bermimpi atau kejadian ini memang nyata. “Tenanglah, Anak Muda. Aku hanya ingin berbincang denganmu,” kata laki-laki itu seakan menjawab kerisauan Nasrulah.

Tanpa permisi, laki-laki yang mengaku bernama Chaerul Saleh itu menerobos masuk kamar dan langsung duduk bersila di lantai kamar yang dingin. “Chaerul Saleh...Rengasdengklok,” kata Nasrulah setengah bertanya.

Kepala laki-laki itu mengangguk pelan dan berkata, “Sudah, tenang saja, Anak Muda,” penuh wibawa sambil mengajak Nasrulah duduk di dalam kamar.

Sudah menjadi kebiasaan Nasrulah menghidangkan teh hangat kepada tamunya. Air panas dari dispenser sudah dituangkan dalam dua gelas dan dicampur dengan teh dan gula. Asap tipis mengepul dari dua gelas itu. Satu bungkus plastik kresek yang berisi gorengan ada di hadapan dua laki-laki beda generasi itu. Sebelum pulang ke kos, Nasrulah sempat mampir membeli gorengan dari pedagang tak jauh dari kosnya.

Sambil menyeruput teh hangat, Nasrulah mencoba membuka pembicaraan, “Ada gerangan apa kiranya bapak menemui saya,” tanya dia.

Mendapat pertanyaan semacam itu, Chaerul Saleh hanya tersenyum. Tangan kanannya menepuk bahu Nasrulah. Bukannya menjawab pertanyaan Nasrulah, laki-laki itu malah mengambil gelas di depannya dan menyeruput teh hangat.

Nasrulah menunggu keluarnya kalimat dari laki-laki itu. Setelah menarik nafas panjang dan mengeluarkannya dengan teratur, Chaerul Saleh mulai angkat bicara.

“Hari ini, ya tepat hari ini, 65 tahun yang lalu, Anak Muda. Aku bersama kawan perjuangan Sukarni dan pemuda lainnya yang terbakar semangat perjuangan menculik Soekarno dan Hatta agar segera memproklamasikan kemerdekaan negara ini. Kami sudah tidak sabar negara ini segera merdeka, toh Jepang sudah kalah perang kala itu. Kami tidak ingin terlambat, maka terpaksa kami culik Soekarno dan Hatta agar tidak dipengaruhi Jepang. Kalian sekarang menyebut kejadian itu dengan peristiwa Rengasdengklok.”

Setelah menarik nafas panjang seperti yang dilakukan sebelumnya, Chaerul Saleh melanjutkan kalimat demi kalimatnya. “Kami dikatakan gegabah. Berpikir pendek. Tapi kami tahu, kemerdekaan sudah di depan mata. Kalau kami harus menunggu lagi, mungkin kemerdekaan yang ada di depan mata itu bisa hilang. Maka kami bertindak malam itu. Kami bertindak agar Soekarno dan Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan secepat-cepatnya,” ujar Chaerul Saleh lirih.

“Anak Muda, kau tentu sudah tahu seperti apa kemudian jalan ceritanya. Sehari berselang setelah peristiwa Rengasdengklok itu, Soekarno dan Hatta akhirnya memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Tepatnya jam 10.00, hari Jumat, 17 Agustus 1945. Saat itu bulan Ramadan, seperti juga tahun ini,” imbuh Chaerul Saleh.

Nasrulah menyimak baik-baik kata demi kata yang meluncur dari Chaerul Saleh. Meski cerita itu sudah dia ketahui sejak duduk di bangku SD dalam pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB), namun cerita Chaerul Saleh itu tetap menarik minatnya.

Sejenak dua laki-laki itu terdiam tanpa kata. Nasrulah mencoba membayangkan kejadian tanggal 16 Agustus, 65 tahun silam. Chaerul Saleh membetulkan duduknya dan kembali bersila. “Maaf bapak. Bukannya saya lancang, tapi apa maksud dan makna cerita bapak tadi,” tanya Nasrulah.

Lagi-lagi, Chaerul Saleh tersenyum. Kali ini sambil menganggukkan kepala. Namun, senyum itu hanya mengembang beberapa detik. Yang ada kemudian adalah Chaerul Saleh menunduk. Matanya berair dan tetes demi tetes air itu bercucuran membasahi pipinya. “Apa ada yang salah dari pertanyaan saya, bapak hingga membuat bapak sedih,” tanya Nasrulah.

Laki-laki itu menggelengkan kepala. Dia kembali tersenyum meski terlihat senyumnya dipaksakan. “Aku bersedih. Aku bersusah hati, Anak Muda. Hari ini, tepat hari ini, 65 tahun sudah bangsa ini memproklamasikan kemerdekaannya. Tapi dari hari ke hari, rakyat bangsa ini belum sepenuhnya merasakan kemerdekaan itu. Kemerdekaan yang dicita-citakan dan diimpikan oleh kami,” kata Chaerul Saleh.

“Aku bersedih mendengar kabar masih ada anak bangsa yang terkena busung lapar. Aku terluka ketika tahu sesama anak bangsa saling menyerang dan melukai. Tak kuat hatiku melihat anak-anak turun ke jalan tidak sekolah. Pedih telingaku mendengar keluh kesah ibu-ibu tentang harga Sembako yang meroket. Apakah ini yang namanya merdeka. Apakah ini yang dicita-citakan 65 tahun yang lalu.”

“Sudah 65 tahun, Anak Muda. Kalau 65 tahun itu usia manusia, maka dia sudah matang. Sudah makan asam garam kehidupan. Dia sudah bisa belajar dari kesalahan masa lampau dan tidak akan mengulanginya. Tapi...,” kata Chaerul Saleh dengan suara yang semakin parau.

Nasrulah hanya terdiam. Tak dibantahnya semua ucapan laki-laki itu. Saban hari, Nasrulah menjumpai berbagai duka lara anak bangsa. Dalam berbagai sisi kehidupan, Nasrulah menjumpai jiwa anak bangsa yang terkoyak di negeri yang sudah merdeka 65 tahun ini.

“Saya tahu betul apa yang bapak ungkapkan. Tapi negeri ini seperti benang kusut. Entah dari mana harus memperbaikinya, bapak,” kata Nasrulah.

Seperti menemukan kembali semangatnya, Chaerul Saleh menghapus sisa air matanya yang masih menempel di pipi. Kepalanya tegak. Matanya menatap tajam ke arah Nasrulah. Tangan kanannya berulang-ulang menepuk bahu Nasrulah.

“Dari tangan orang-orang sepertimulah negeri ini bakal diperbaiki. Di tangan anak-anak muda penerus bangsa, negara ini bisa berharap. Anak muda, kau tidak hanya punya tenaga yang lebih, tapi anak-anak muda sepertimu juga punya semangat perjuangan yang lebih. Seperti semangatku, semangat Sukarni dan semangat pemuda lainnya, 65 tahun silam.”

“Mungkin semuanya sudah kusut, tapi bukan berarti tidak ada jalan untuk memperbaiki kekusutan itu. Anak Mudam gelorakanlah semangat memperbaiki kekusutan itu.”

Kini giliran Nasrulah yang tertunduk lesu. Dia tahu benar, apa yang harus dilakukannya. “Tapi saya ini hanya seorang wartawan, di koran lokal lagi. Apa kekuatan saya untuk merubah dan memperbaiki kekusutan ini.”

Dua tangan Chaerul Saleh menepuk bahu Nasrulah secara bersamaan. Dipegangnya bahu tubuh kurus itu kuat-kuat. Di tatapnya mata jurnalis muda itu. Kini dua laki-laki itu beradu mata.

“Kau tak sendirian, Anak Muda. Ada berjuta-juta anak muda di negara ini yang memiliki semangat dan cita-cita mulia untuk bangsa ini. Maka, saat ini, lakukanlah sebaik mungkin pekerjaanmu. Berjuanglah lewat jalanmu sebagai wartawan. Perbaiki benang kusut itu dengan caramu, Anak Muda.”

Pegangan kuat kedua tangan Chaerul Saleh di bahu Nasrulah, ditambah tatapan mata tajam laki-laki paruh baya itu, seakan sebuah transfer semangat, perpindahan gelora perjuangan anak muda 65 tahun silam kepada anak muda masa kini.

Senyum Chaerul Saleh kembali mengembang. Seperti senyum yang hadir diawal perjumpaan, bukan senyum yang dipaksakan. Kali ini, Chaerul Saleh berdiri, dia mohon pamit dan sambil mengenggam tangan Nasrulah, Chaerul Saleh berkata, “Bakarlah semangatmu, Anak Muda. Pesanku hanya satu, gandenglah tangan semua anak bangsa negeri ini. Entah itu muda, entah itu tua, laki atau perempuan. Jangan lihat agama atau suku bangsanya. Jangan tanyakan asal atau golongannya karena kalian satu, kalian adalah anak Indonesia.”

Secepat kilat Chaerul Saleh pergi dan hilang entah ke mana. Dan tiba-tiba hujan mengguyur, membasahi bumi yang kering, menghapuskan hawa panas yang menyelimuti, menggantikannya dengan udara sejuk.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun