Sepertinya terlalu banyak alkohol kutenggak malam ini. Banyak juga pelanggaran yang minta service lebih. Sungguh malam yang melelahkan.
Lampu temaram kamar tak membantuku mencari pakaian dalamku. Entah di mana BH-ku berada. Entah di mana celana dalamku berada. Yang aku tahu pasti pelanggaran terakhirku telah pergi beberapa menit sebelum azan menggema sambil meletakkan beberapa lembar uang lima puluh ribuan di meja samping tempat tidur.
Asap rokok memenuhi kamar yang berbau apek. Rokok mild menthol di tangan sudah hampir habis. Entah mengapa, pagi ini aku malas meninggalkan hotel murahan ini. Aku sedang ingin menikmati kesendirian ini setelah semalaman bekerja. Tanpa pelanggan, tanpa alkohol, tanpa kondom, hanya rokok mild menthol saja.
Tanpa sehelai pakaian aku menuju kamar mandi, mencuci muka, kencing dan berharap bisa membuang dosa malam ini. Ya, dosa malam ini dan semoga juga dosa malam-malam sebelumnya. Dari kaca kamar mandi aku bisa memandangi seutuhnya tubuh ini, tubuh bugil, tubuh yang sering diolok-olok tubuh seorang pendosa.
Aku maklum saat orang-orang menanggilku dengan sebutan pelacur. Aku sadar sepenuhnya profesi yang aku jalani karena aku memang seorang pelacur. Pelacur jalanan yang semalam bisa melayani lima hingga enam orang berturut-turut. Pelacur murahan yang dibayar setelah orang-orang menikmati tubuhku. Orang yang dibayar karena bisa memberi kenikmatan tubuh bagi orang lain. Itulah aku. Aku tidak menampiknya sama sekali.
Aku tidak akan membela diri dengan mengatakan “Aku melakukan ini semua karena alasan ekonomi.” Meski harus kukatakan, aku membutuhkan uang untuk hidup, aku melakukan ini semua dengan kesadaran diri seutuhnya.
Dalam lapisan masyarakat beradab, aku mungkin berada paling bawah dalam lapisan itu. Manusia hina yang menjual tubuhnya. Apakah aku memang sehina itu?
Aku tidak menggugat keadaanku. Kalau aku dikatakan orang hina, akupun terima, meski kadang masyarakat menjadi hakim yang salah menilai dan mengambil keputusan.
Aku adalah aku. Pelacur jalanan yang menjual tubuh, namun tetap memiliki harga diri. Ya, harga diri. Silahkan tidak percaya, tapi aku memegang teguh harga diriku. Tubuhku bisa dinikmati orang. Setiap inci lekukan tubuhku bisa dijamah orang, tapi tidak jiwaku.
Aku memang penjual tubuh, tapi bukan penjual jiwa. Aku menawarkan seni bercinta, namun aku tidak memberikan cinta. Aku mengajak untuk menikmati malam dengan segala keliarannya, namun aku tidak menawarkan kasih sayang.
Aku memang hina, tapi bukan paling hina. Aku memang pelacur, tapi tidak menjual jiwa. Dan terhinalah orang-orang yang menjual jiwa mereka.
“Kukuruyukkkkkkkk…..”
Kokok ayam jago membuyarkan lamunanku pagi ini.