Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Masjid sosial responbility

12 November 2010   12:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:40 605 0
Tanggung jawab social adalah topic yang menjadi perbincangan para ahli ekonomi, manajemen dan etika. Lahir dari fenomena perusahaan yang tumbuh menjadi institusi pengumpul laba. Dimana perusahaan hanya terpaku untuk menciptakan laba dan hampir meninggalkan aspek lain dalam usaha yakni ruang sosial dimana produk dan jasa perusahaan digunakan oleh masyarakat.  Mengupas bagaimana dan mengapa perusahaan mesti mempunyai tanggungjawab social menarik. Pembahasan ini dimulai pada tahun 1970 oleh beberapa ahli. Sedangkan untuk Indonesia tanggunjawab sosial perusahaan telah menjadi sebuah penilaian. Hal ini di bawah koordinasi mentri lingkungan hidup yang memberikan penilaian terhadap perusahaan yang menjalankan CSR.

Perusahaan sebagai sebuah usaha yang hidup dari transaksi ekonomi dengan pelanggan dan berinteraksi dengan lingkungan. Memberikan nilai lebih (value added) terhadap suatu benda atau jasa . Perusahaan tumbuh dan berkembang di suatu kawasan yang bernama masyarakat. Perusahaan memanfaatkan berbagai fasilitas alam untuk menjadian nilai lebih dari segi ekonomi untuk kebutuhan masyarakat lebih luas.

Batemen dalam buku Manajemen 1 edisi 7 mendefenisikan “Tanggung jawab social perusahaan (corporate social responbility) adalah kewajiban kepada masyarakat yang ditanggung oleh perusahaan. Perusahaan bertanggung jawab secara social memaksimalkan dampak positif pada masyarakat dan menimalkan dampak negatifnya”.

Sedangkan Prof. Dr Kees Bertens, MSC, dalam buku Pengantar etika bisnis “Tanggung jawab social perusahaan adalah tanggung jawab moral perusahaan terhadap masyarakat. Tanggung jawab social, yang di soroti adalah tanggung jawab moral terhadap masyarakat dimana perusahaan menjalankan kegiatannya, entah masyarakat dalam arti sempit seperti lingkungan di sekitar sebuah pabrik atau masyarakat luas.

Hal ini dari sisi perusahaan, Apakah mesjid mempunyai tanggungjawab social?, bagaimanakah mesjid bertanggung jawab secara sosial, mengapa Mesjid mempunyai tanggung jawab social? Beberapa pertanyaan di atas yang akan coba di kupas dalam tulisan ini.

Menarik mengupas tanggungjawab sosial masjid untuk menjadikan sebuah gerakan bersama memaksimalkan peran mesjid melebihi dari fungsi sekedar tempat ibadah ritual semata, seperti shalat berjamaah, jum'atan dan acara seremonial keagamaan semata. Mesti ada sebuah gebrakan terstruktur melihat sebuah fenomena dimana mesjid kehilangan jamaahnya dan itu berasal dari tetangga mesjid atau mushalla itu sendiri.

Mesjid merupakan salah satu institusi agama Islam yang menjadi perekat utama dan pembeda dengan ummat lainnya. Ia adalah bangunan pertama yang di bangun oleh Rasulullah SAW. Rasul tidak membangun rumah pribadi beliau ketika sampai di madinah. Beliau mendirikan mesjid Quba dan kemudian mesjid madinah.

Beliau tinggal disamping mesjid menjadi ahli mesjid. Rasulullah menjadi pengelola masjid dan  mempunyai tanggungjawab menjadi iman, dan memberikan nasehat untuk ummat. Berbalik dengan kondisi sekarang orang yang menjadi pengawai mesjid atau ustad yang bertanggungjawab sebagai imam dan juga membimbing ummat di pandang sebelah mata dalam prespetif tingkatan struktur social kemasyarakatan.

Mesjid pada zaman Rasulullah adalah multifungsi, meliputi seluruh aspek kehidupan. Menacari istana Negara madinah maka datanglah ke mesjid. mencari universitas pendidikan ummat maka datanglah ke mesjid, mencari para pejuang Islam yang maka datanglah ke mesjid. Mencari pasar dan kekuatan ekonomi ummat Islam carilah pasar Anshar yang berada dalam lingkungan mesjid. Mencari pengadilan untuk memutuskan suatu perkara maka datanglah ke mesjid.

Namun seriring rentang peradaban Islam yang pernah gilang gemilang, namun tidak meninggalkan bentuk tulisan yang memadai di miskinnya budaya literasi mengakibatkan sulitnya  untuk menggali bagaimana isntitusi ummat ini menjadi pusat segala aktivitas kehidupan. Lima kali sehari kita di seru untuk berkumpul dan melakukan sebuah kegiatan bersama, bernama solat berjamaah.

Tanggungjawab social mesjid adalah bentuk pertanggungjawaban mesjid menjadi kepada jamaahnya dan tetangganya untuk menjadikan kehidupan social lebih baik secara islami, dan menghilangkan perilaku negative social dalam masyarakat.

Tanggungjawab ini meliputi bidang, pengembangan jamaah dan tetangga mesjid berupa;

Pertama. Aspek aqidah spiritual. Hal in sering diimplementasikan dengan khutbah jum’at. Kajian ibu-ibu, remaja dan bapak-bapak. Namun terdapat sebuah kelemahan dalam perencanaan yang tidak berlandaskan kepada riset tentang kondisi riil jamaah maupun tetangga mesjid. Berbeda dengan perusahaan yang melakukan riset pemasaran, riset kepuasan pelanggan dan riset lainnya untuk melahirkan berbagai kebijakan. Ketiadaan data dan fakta mengakibatkan sebuah kekacauan dalam melihat realitas dari jamaah dan tetangga masjid.

Pengembangan ini aspek aqidah spiritual merupakan pilar pertama dalam tanggungjawab sosial masjid. Ketika hal ini tidak menjadi prioritas maka terciptalah sebuah ketidak konsistenan pemahaman tentang aqidah. Menelisik perkembangan dunia informasi dimana terdapat kelimpahan sumber bacaan menjadikan orang lebih memilih dunia internet dari pada kajian-kajian aqidah spiritual dalam masjid. Hal ini dilandasi oleh perubahan karakteritik masyarakat yang melek informasi. Kebutuhan tentang aqidah spiritual melalui dialog-dialog membangun lebih diminati daripada ceramah satu arah semata.

Kedua, Aspek ekonomi. Beberapa mesjid telah mampu mendirikan lembaga amil zakat, infak dan sedekah dan juga koperasi atau Baitul Maal wat Tamwil. Masjid sebagai sebuah institusi yang surplus secara ekonomi. Hal ini dapat kita akses lewat laporan keuangan pengurus masjid per hari jum'at. Namun tidak sedikit jamaah masjid atau tetangga masjid mengalami kekurangan bahkan tidak memiliki tempat tinggal yang memadai, dimana masjid indah dengan bangunan yang selalu diperbaharui.

Beberapa masjid telah mendirikan lembaga amil sebagai bentuk penguatan ekonomi jamaah dan masyarakat sekitar. Jangkauan ini belum merata di hampir seluruh masjid yang ada di Indonesia. Namun hal sebagian dari koperasi masjid ini menjadikan sebuah institusi bisnis oriented dan pada tahap pengelolaan mesjid hanya menjadi sumber dari dana yang di putarkan di koperasi atau di BMT.

Membutuhkan sebuah kajian lebih lanjut tentang bagaimana sumber pendapatan masjid dari sumbangan jamaah di kelola secara lebih baik untuk penguatan sisi ekonomi jamaah dengan menggunakan kategori asnaf yang delapan. Bukan hanya pada pemberian bantuan langsung, namun ada aspek pemberdayaan dan pengembangan yang mampu melahirkan para muzakki baru.

Ketiga, Aspek social kemasyaraktan dan politik. Hal ini yang hampir tidak terdapat dalam ruang lingkup kinerja pengurus mesjid. Berbeda dengan Lembaga Swadaya Masyarakat, NGO dan perusahaan lainnya. Mereka mempunyai sistematika, metodologi dan juga relawan yang menjadi pendamping bagi masyarakat untuk mengembangkan dirinya sendiri.

Mengapa hal ini bisa terjadi. Mesjid gagal menjadi institusi pengembangan jamaah dan tetangganya sendiri.

Pertama, Kelemahan sumberdaya manusia pengelola mesjid. Hampir seluruh pengurus mesjid yang penulis pernah temui dalam lapangan adalah orang tua yang masuk dalam kategori purnawirawan, pensiunan yang telah habis masa produktif di perusahaan. Menjadi pengurus mesjid atau mushalla adalah untuk menjadikan diri berarti yang selama ini tidak memberikan konstribusi. Mental dan motifasi inilah yang menjadikan mesjid di huni oleh lascar purnawirawan dan sedikit dari orang muda yang mempunyai skill dan kemampuan dalam berbagai bidang.

Kedua, Kelemahan kemampuan skill dan pengetahuan. Sebagaian pengurus adalah yang tidak memiliki skill yang mememadi tentang manajemen organisasi, strategi pengembangan dan juga pengetahuan tentang aspek yang melingkupinya. Aktivitas kegiatan tidak terlepas melanjutkan apa yang pernah pengurus dahulu lakukan dan juga kegiatan rutinitas pembangunan.

Ketiga, mesjid hanya menjadi sarana public service untuk sekedar tempat ibadah solat berjamaah. Keputusan ini di ambil oleh pengurus semata. Dalam pengalaman penulis pernah di larang melakukan rapat remaja di dalam mesjid dan juga dukungan yang tidak memihak. Mesjid hanya di jadikan sebuah tempat untuk Buang Air Kecil, Buang Air Besar dan solat berjamaah dengan pengikut lebih banyak tiangnya dari pada jamaahnya di banyak tempat yang penulis pernah temui.

Keempat. Tidak adanya pelatihan berkala dan sistematis serta terstandar bagi pengurus mesjid dan muhsalla yang fi fasilitasi oleh Departemen Agama, MUI, PP DMI, dan ormas lainnya yang mengaku atau menampilkan ciri keislaman.

Kelima. Benturan konflik social pengurus dan juga aspek firkoh-firkoh dalam pemahaman Bergama. Itu mesjid organisasi itu, itu mesjid aliran itu dan sebagainya. Pelambangan ini mengakibatkan mesjid bukan sebagai tempat menyatukan ummat, namun menjadi sumber pemecah ummat dan konflik berkepanjangan.

Keenam, mesjid milik pribadi dan tidak waqaf milik ummat dan masyarakat hal ini sering terjadi mesjid menjadi sumber pendatapan ekonomi sebagai sebuah usaha publik servis.

Sebagai penutup tulisan ini, sudah sepantasnya kita yang hampir setiap hari atau sekali seminggu untuk memberikan infak skill, pengetahuan, waktu dan tenaga untuk menjadikan mesjid dan mushalla mampu menjadi sebuah katalisator kehidupan yang Allah janjikan kita adalah ummat terbaik yang Allah siapkan.

Kalau tidak kita siapa lagi, kalau tidak sekarang kapan lagi, kalau tidak dimulai maka menunggu kapan lagi. Untuk kita yang Allah beri petunjuk. salam

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun