Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Pilihan

Habis Manis Sepah Dibuang Ekonomi Kerakyatan

4 Juni 2014   16:40 Diperbarui: 20 Juni 2015   05:24 685 4
Membaca ulasan tentang perbandingan konsep ekonomi dari pasangan calon pemimpin urusan masyarakat Indonesia seakan pikiran ini kembali waktu kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Bung Hatta. Waktu itu Prof. Dr. Sri Edi Swasono memaparkan bagaimana negeri yang kaya raya dan mendapatkan anugrah alam nan indah menjadikan masyarakatnya tetap miskin dan sulit untuk menjadi bangsa makmur. Sedangkan para tetangga yang tidak memiliki kekayaan melimpah ruah mampu untuk menjadi bangsa maju dan bermartabat.

Ekonomi kerakyatan yang sangat membius dan populer hanya sekali lima tahun. Setiap kampanye menjadi bagian yang amat meyakinkan, namun isinya amat menyakitkan. Ekonomi kerakyatan yang terkadang tidak jelas bila diteropong secara epistimologi, aksiologi dan antologi. Bila menggunakan pendekatan filsafat ilmu mengkaji segala sesuatu.

Ekonomi kerakyatan yang diulas dari pemikiran Bung Hatta yang kemudian dikembangkan oleh Prof. Dr. Sri Edi Swasono dan menjadi mainstrem ekonomi UGM. Prinsip dasar pemikiran ekonomi kerakyatan mengacu kepada pidato Bung Hatta 'Perekonomian Indonesia yang kita hadapi meliputi tiga hal pokok. Pertama, soal idiologi, yaitu bagaimana menjadikan susunan ekonomi yang sesuai dengan cita-cita tolong menolong. Kedua, soal praktik, yaitu perekenomian apa yang praktis dan perlu dijalankan segera. Ketiga, soal koordinasi, yaitu bagaimana mengatur perekonomiaan Indonesia supaya pembangunan itu berjalan dan bersambung dengan pembangunan dunia'. (Muhammad Hatta, demokrasi kita, bebas aktif, ekonomi masa depan, UI Press 1980)

Secara gamblang dapat dilihat di mana ekonomi kerakyatan hanya manis dalam kampanye dan akan terbuang dan dibuang dalam kebijakan. Hal ini bisa dilihat dari beberapa kebijakan.

Pertama. Bila pertumbuhan ekonomi masih mengacu kepada ekonomi makro dan pasar modal. Karena pasar modal dan ekonomi makro hanya untuk masyarakat kaya dan berpendidikan tinggi. Sedangkan masyarakat yang tidak berpendidikan dan tidak berada di Jakarta sulit untuk masuk pasar modal.

Kedua. Bila Bank Indonesia masih menjadikan BI Rate sebagai acuan kredit dan perbankan memberikan skema kredit dengan bunga yang tetap bagi pelaku usaha korporasi dan bukan usaha UMKM. Belajar dari pengucuran Kredit Usaha Rakyat dengan bunga di atas 16% adalah bentuk landasan idiologi yang tidak berprinsip tolong-menolong.

Ketiga. Bila pembangunan infrastruktur masih menggunakan skema pinjaman dari luar negeri dan mengejar bentuk rupa yang terlihat oleh mata. Maka tidak ada namanya ekonomi kerakyatan. Sebab yang dibutuhkan masyarakat adalah penghargaan dan regulasi yang mampu memandirikan masyarakat secara ekonomi, memproteksi hasil mereka dan juga mencarikan pasar.

Keempat. Bila kajian dan tim pakar ekonomi masih menggunakan ekonomi mikro dan makro keynes dengan pendekatan GDP, maka tidak akan terlihat ekonomi berpihak kepada rakyat Indonesia.

Kelima. Bila rupiah masih berada jauh dari nilai tukar dari mata uang dalam kawasan tetangga ASEAN. Ibarat kata rupiah adalah nilai terendah dan mata uang adalah nilai tertinggi. Maka ekonomi kerakyatan hanya isapan jempol belaka.

Keenam. Bila korupsi dan juga bagi-bagi jatah pembangunan mercusuar yang tidak berasal dari kebutuhan rill masyarakat. Maka ekonomi kerakyatan hanya kecap jualan demi suara.

Ekonomi kerakyatan bila mengambil dari pemikiran Muhammad Hatta, maka perlu menstruktur ulang Rancangan Undang-Undang Perekonomian Indonesia, Undang-Undang Keuangan Negara, Undang-Undang Perbankan dan Undang-Undang lainnya.

Kemudian menjadikan Badan Usaha Milik Negara menjadi Badan Usaha Milik Rakyat, di mana rakyat memiliki saham dan menjadi pemegang saham. Setiap rakyat Indonesia mendapatkan deviden setiap tahun dari saham yang mereka miliki dari BUMN. Dan masih banyak hal yang sederhana kalau memang ingin menjadikan ekonomi rakyat memang milik rakyat dan bukan calon penguasa yang tidak lebih dari Pemimpin Urusan Pelayanan Masyarakat Indonesia.

Karena Muhammad Hatta telah memikirkan masalah globalisasi ekonomi atau paling tidak mengajukan suatu sistem interdepedensi ekonomi Internasional. Dan bukan ekonomi hutang dengan skema bayar pokok dan bunga.

Malangnya penguasa yang mengaku berjuang untuk rakyat, sedangkan kekayaannya melampaui makan 1.000 orang masyarakat dalam sehari.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun