Sebuah Catatan di Tepi Kaki Langit
Bogor, 25 Desember 2011, 14: 10 WIB
Awan, sebuah mahakarya yang menangis, pilu. Bercucur dalam gemuruh yang menaikkan bulu roma. Entah karena ia peduli, atau mengerti. Entah karena ia tidak dipedulikan, atau tidak dimengerti.
Kecipak yang jatuh menghasilkan harmonisasi nada sendu, menambah dalam luka yang menganga di mata, dada, hati dan perasaan manusia yang hidup di atas tanah merah bangsa nan gemerlap ini. Ia menangisi tawanya manusia yang tidak sadar akan penyakit yang sebenarnya diderita. Ia menangisi gemerlap dunia pikiran manusia yang berdiri kokoh diatas keroposnya moral yang telah sompal disana sini tak tertambal. Ia menangisi manusia beridentitas pejuang didahinya, yang semakin menjeriti perjuangannya yang hampa tanpa bekas. Ia menangisi manusia tanpa tangis.
Ia menangisi manusia.
Tanpa pernah tahu, ia mengerti. Ia mengerti manusia harus hidup sebagai khalifah di bumi. Maka tangisnyalah menjelma molekul penyubur sumber-sumber makanan yang senantiasa dilahap manusia.
Ia mengerti manusia tak tahan marahnya matahari yang menyengat ubun-ubun, maka ia senantiasa memayungi teritori-teritori berdiamnya manusia. Ia mengerti manusia cinta keindahan, maka dilekuknya tubuhnya berlapis-lapis bermacam bentuk, sembari dimintanya angin untuk berhembus melelapkan manusia yang tertegun memandangi paduan warna peraknya.
Ia mengerti manusia.
Manusia tahu, banyak yang tidak mengerti. Banyak yang tidak mengerti sedang menari di tajamnya duri penyesalan yang menunggu dibawah kakinya. Banyak yang tidak mengerti betapa melencengnya ia dari jalan yang telah ditentukan Sang Pencipta untuknya. Banyak yang tidak mengerti, mencintai dunia tanpa mencintai bumi. Banyak yang tidak mengerti anyirnya luka bumi dan bangsa tempatnya menancapkan hidup. Banyak yang tidak mengerti, busuk itu mengundang burung bangkai mengawasi sekejap melahap manusia penuh pesimisme. Banyak yang tidak mengerti ia ditangisi.
Ditangisi, oleh yang mengerti.
Tidak mengerti, pura-pura tidak mengerti atau enggan mengerti?
Mengerti, bukanlah rentetan kata tanpa makna, ia pula bukan sehelai bulu penuh harap yang menjulang tinggi di pelangi tanpa terjangkau.
Mengerti, tumbuh dalam logika, disemai dalam perasaan. Mengerti sesuatu selain diri sendiri.
Betapa indahnya mengerti. Mari belajar untuk mengerti.